Senin, 10 Desember 2012

Produktif Tanpa Produk Bajakan

Dan blog ini pun akhirnya di-update kembali.

Saya pernah mempublikasikan beberapa tulisan tentang open source di blog ini. Tulisan-tulisan tersebut merefleksikan dukungan saya terhadap produk-produk open source. Sebagai seorang PNS, saya pun berharap instansi pemerintah di Indonesia memperluas penggunaan produk-produk open source dalam lingkungan kerja mereka.

Alasan utama saya mendukung dan menggunakan produk-produk open source ini adalah untuk mengurangi penggunaan produk-produk bajakan dalam hidup saya. Dengan menggunakan aplikasi open source, dan berbagai alternatif freeware lain, porsi aplikasi bajakan sudah berkurang secara signifikan dalam hidup saya.

Lalu bagaimana kita bisa menjadi produktif tanpa produk bajakan? Sederhana: kita harus memiliki determinasi yang kuat untuk tetap konsisten mencari alternatif di luar produk-produk bajakan. Saya melihat sendiri bahwa banyak orang beralih ke produk bajakan karena mereka tidak mau (bukan tidak bisa) untuk keluar dari ketergantungan mereka terhadap produk bajakan itu. When there is no will, there is no way.

Mengacu kepada pengalaman saya sendiri, berikut ini adalah kompilasi freeware dan open source software yang saya gunakan untuk tetap produktif:
  1. Apache-PHP-MySQL dan Notepad++ untuk pengembangan aplikasi berbasis web.
  2. 7-zip untuk kompresi data dan kebutuhan backup data.
  3. LibreOffice untuk mengolah dokumen dan spreadsheet.
  4. AVG Antivirus Free, dilengkapi dengan NoAutorun dan kehati-hatian saat browsing di Internet, untuk menolak bala virus.
Yang saya sebutkan di atas mengacu kepada pengalaman saya pribadi. Walaupun begitu, saya sadar bahwa alternatif pilihan untuk menggantikan pilihan 1-4 di atas pun masih banyak. Sayangnya saya tidak menyempatkan diri untuk mencoba alternatif-alternatif lain satu per satu. Intinya memang bukan pada alternatif freeware atau open source software yang saya pakai, tapi lebih pada kenyataan bahwa hidup bebas dari produk-produk bajakan itu sangat memungkinkan.

Lalu bagaimana mana dengan pilihan operating system yang saya gunakan? Saya memilih Windows; yang asli tentunya.

Update [11 Desember 2012]:
Semua aplikasi yang saya sebutkan di atas, saya gunakan dengan Windows XP.

Rabu, 25 Juli 2012

Apresiasi

Akhirnya kembali ke coffee break. Rasanya sudah lama sekali saya tidak menulis tentang sesuatu yang santai. Kali ini saya ingin bercerita tentang sebuah bentuk apresiasi yang saya dapatkan belum lama ini.

Alhamdulillah saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi pegawai terbaik tingkat eselon II di tempat saya bekerja. Jarang sekali saya mendengar ada bentuk apresiasi semacam ini di lingkungan instansi pemerintahan. Mungkin saja program seperti ini baru digelar di tempat saya bekerja. Satu hal yang pasti, terpilih sebagai pegawai terbaik di tingkat eselon II adalah sebuah kehormatan yang luar biasa bagi saya.

Enough about me.

Terkait apresiasi itu sendiri, saya teringat karakter Naruto yang di awal ceritanya itu hidup demi mendapat apresiasi. Naruto ingin sekali menjadi seorang ninja yang menonjol dan diakui kehebatannya oleh orang-orang di sekitarnya. Dia akan melakukan banyak hal (yang mayoritas tidak baik) demi mendapatkan perhatian banyak orang. Fortunately, he found such appreciation.

Enough about Naruto.

Seperti halnya Naruto, kita semua pun butuh apresiasi pada pekerjaan kita. Apresiasi yang saya maksud tentunya tidak sama persis seperti yang Naruto butuhkan. Ada banyak faktor yang menentukan seberapa butuhnya kita terhadap apresiasi. Pada intinya, menurut saya, bila kondisi eksternal membuat kita merasa tidak dihargai, maka semakin besar keinginan kita untuk diakui dan dihargai oleh orang lain.

Dalam dunia kerja pun sama. Kita butuh apresiasi. Kita butuh penghargaan terhadap pekerjaan yang sudah kita lakukan. Kita butuh penghargaan terhadap pencapaian-pencapaian kita. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi untuk menjaga agar kita tetap memiliki motivasi untuk terus berkreasi. Hal ini saya rasakan sendiri saat ditetapkan sebagai pegawai terbaik tingkat eselon II itu.

Ibarat Naruto... Lupakan Naruto. Saya sudah lama tidak mengikuti ceritanya.

Ibarat mendapatkan tepukan di bahu dari atasan, penghargaan pegawai terbaik itu menjadi dorongan tersendiri bagi diri saya. Paling tidak saya mendapatkan bukti bahwa 2 (dua) tahun lebih bekerja sebaik mungkin tidak serta-merta menjadi sia-sia. Dan bukti ini sepertinya akan membekas cukup lama untuk mengingatkan saya agar terus bekerja dengan baik. Selama apa? Minimal selama saya masih diingatkan untuk mentraktir rekan-rekan kerja saya dalam rangka "syukuran".

Kemudian...

Demikian. Jangan sampai coffee break ini berubah menjadi tulisan yang terlalu serius. Pada intinya, saya hanya ingin berbagi kebahagiaan tentang sebuah apresiasi istimewa yang baru saja saya dapatkan. Harapan saya orang-orang yang sudah banyak berkontribusi di tempat kerja masing-masing pun mendapatkan apresiasi yang sama dengan saya. Aamiin.

Selasa, 12 Juni 2012

Diet Informasi, Siapa yang Peduli?

Setelah 124 halaman buku The Information Diet yang ditulis oleh Clay A. Johnson dan sedikit browsing tentang diet informasi, saya pun menyadari bahwa diet informasi, sebagaimana diet-diet yang lain, juga membutuhkan komunitas. Sebuah komunitas yang sengaja dibentuk dalam rangka diet informasi seperti  situs www.informationdiet.com. Sebuah komunitas untuk bertukar tips, pendapat, dan berbagai pemikiran yang dapat membantu mencapai keberhasilan para anggota komunitas dalam diet mereka masing-masing. Dengan adanya komunitas seperti ini, setiap orang yang terlibat dapat saling mengisi dan menguatkan agar tetap bertahan untuk tidak terbawa gencarnya arus informasi yang tersedia di sekitar kita.

Saya pun mencoba googling dengan kata kunci "diet informasi", baik dengan tanda kutip maupun tanpa tanda kutip. Ternyata halaman pertama hasil pencarian dari Google tidak berhasil menemukan situs yang membahas tentang diet informasi ini. Itu pun saya sudah mencoba mencari lewat Google Indonesia (google.co.id). Entah memang tidak ada yang terpikir akan konsep diet informasi ini atau memang tidak ada yang berminat untuk membahas tentang diet informasi; yang jelas pencarian dengan kata kunci "diet informasi" ini justru menampilkan situs-situs yang membahas tentang "informasi diet"; diet makanan tentunya.

Memangnya diet informasi ini seberapa penting? Bagi saya, diet informasi itu sepenting mengembalikan attention span saya yang sudah terlalu sering tercecer. Mulai dari situs jejaring sosial sampai berbagai situs berita sudah berhasil memancing saya untuk terus memantau mereka sampai saya sendiri merasa konsentrasi saya saat bekerja menjadi jauh berkurang. Rendahnya konsentrasi ini jelas mempengaruhi efisiensi dan efektivitas saya dalam bekerja.
... mengembalikan attention span saya yang sudah terlalu sering tercecer.
Langkah pertama diet informasi saya tentu saja fokus pada hal di atas. Saya mulai membatasi waktu saya untuk mengakses situs jejaring sosial dan situs berita. Bila waktu saya sudah habis, saya tutup semua browser windows (atau tabs) yang tidak terkait dengan pekerjaan. Bila waktunya bekerja, saya fokus untuk bekerja. Bila waktunya mencari tahu kabar sekitar, saya pun fokus di situ. Itu artinya pikiran saya tidak terus-menerus lompat dari satu hal ke hal yang lain.Walaupun sesekali waktu saya masih membiarkan diri saya "kecolongan", pembatasan waktu ini paling tidak membantu pikiran saya untuk lebih fokus.

Pembatasan waktu di atas tentu saja fleksibel. Saya yakin pembatasan waktu yang terlalu kaku justru akan menyulitkan diri saya sendiri. Inti dari langkah di atas adalah bagaimana bisa tetap fokus pada satu hal saja. Yang penting bagi saya adalah bagaimana memikirkan setiap hal satu per satu; tidak bersamaan. Bila tiba waktunya untuk bekerja, saya ucapkan selamat tinggal kepada random browsing di Internet. Bila tiba waktunya untuk random browsing, saya tutup semua hal yang terkait dengan pekerjaan.

Peningkatan attention span di atas tidak hanya berdampak positif bagi pekerjaan saya saja. Dampak positif yang sama juga saya rasakan di tengah-tengah keluarga saya. Dengan membiasakan diri untuk tidak terlalu sering mengakses situs jejaring sosial, situs berita, dan Internet pada umumnya, saya pun membuka potensi meningkatkan quality time bersama istri dan anak saya. Dapat dikatakan bahwa saya berhasil menjauhkan yang jauh seraya mendekatkan yang dekat karena perhatian yang saya berikan kepada istri dan anak-anak pun meningkat.
... menjauhkan yang jauh seraya mendekatkan yang dekat...
It's a work in progress, of course. Saya pernah secara eksplisit menegaskan kepada diri saya sendiri untuk menjauh dari situs jejaring sosial, tapi pada kenyataannya langkah saya tidak konsisten. Semangat saya untuk menjaga diri dari konsumsi informasi yang membanjiri hidup saya itu sering mengendur. Saya pun kembali terbawa derasnya arus informasi yang masuk ke dalam otak saya. Alhamdulillah saya masih menemukan motivasi yang baru untuk memulai kembali.

Itulah alasannya kenapa saya mengangkat isu mengenai komunitas yang membahas diet informasi ini. Diet informasi ini, seperti halnya diet makanan, butuh penguat, yaitu sebuah komunitas yang memiliki kesamaan tujuan untuk menyaring informasi trivial dari sekitarnya dan lebih fokus pada informasi yang faktual dan bermanfaat. Dengan begitu, seperti yang saya jelaskan di atas, setiap anggota komunitas dapat saling menjaga dan menguatkan satu sama lain.

Sebenarnya saya yakin ada banyak orang yang peduli dengan kuantitas dan kualitas informasi yang masuk ke dalam otak mereka. Bahkan tidak sedikit orang-orang di dekat saya yang seperti ini. Orang-orang ini memiliki lebih banyak waktu untuk mengurus urusannya sendiri ketimbang menghabiskan waktu menelusuri Internet pada umumnya atau timeline jejaring sosial pada khususnya. Produktif atau tidaknya orang-orang seperti ini tentu saja lain soal. Semua tergantung pada urusan yang diurus oleh masing-masing individu.

Orang-orang yang saya maksud di atas itu sudah melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencapai hal tersebut. Ada yang sudah membatasi akses ke situs jejaring sosial, bahkan ada yang memutuskan untuk tidak bergabung dengan situs jejaring sosial mana pun. Ada yang membatasi waktu mengakses situs berita, ada yang mengatur perilaku mengakses forum-forum online, dan berbagai cara lain. Sayangnya masing-masing orang masih memilih untuk melakukannya secara pribadi.

Terlepas dari itu, perbaikan memang perlu dimulai dari diri sendiri. Ada komunitas ataupun tidak, saya tetap melangkah maju untuk mengelola kuantitas dan kualitas informasi yang saya konsumsi. Dengan berbagai dampak positif yang sudah saya paparkan di atas (dan dalam tulisan-tulisan saya sebelum ini), saya menganggap diet informasi ini sebagai sesuatu yang penting. Sudah waktunya bagi saya untuk lebih peduli dengan arus informasi di sekitar saya. Bagaimana dengan Anda?

--
Tulisan terkait: Timeline Management http://alfanaini.blogspot.com/2012/05/timeline-management.html

Senin, 14 Mei 2012

Timeline Management

Kembali lagi dengan tulisan seputar Diet Informasi. Kali ini saya ingin berbagi tentang bagaimana mengelola arus informasi dari timeline di situs-situs jejaring sosial langganan kita. Apa yang akan saya sampaikan di sini akan bersifat subjektif karena mayoritas isinya akan berkaca dari pengalaman saya sendiri. Semoga saja apa yang saya sampaikan masih cukup relevan untuk dimanfaatkan para pembaca.

Saya mulai.

Buat saya pribadi, di antara semua sumber informasi yang tersedia di sekitar saya, sumber informasi yang paling "mengganggu" adalah jejaring sosial. Dan di antara 3 (tiga) jejaring sosial yang saya ikuti, yaitu Facebook, Twitter, dan Google+, jejaring sosial yang paling "mengganggu" adalah Twitter. Dalam hidup saya, Twitter itu yang paling mampu menyita waktu dan perhatian saya dibandingkan situs jejaring sosial yang lain.

Terlepas dari itu, masing-masing jejaring sosial yang saya sebutkan di atas memiliki fitur-fitur untuk mengelola arus informasi yang memenuhi timeline penggunanya. Dari masing-masing fitur inilah kita dapat menemukan pola timeline management yang sesuai dengan perilaku sosial dan kebutuhan kita terhadap informasi. Tergantung perilaku dan kebutuhan kita, fitur-fitur tersebut mungkin saja akan sangat berguna untuk membantu kita mengelola informasi yang masuk ke dalam otak kita.

technorati.com
Google+
Saya mulai dari Google+. Mengapa Google+? Bukan karena kecenderungan saya terhadap Google, tapi karena menurut saya Google+ ini seolah-olah dibuat dengan "pengelolaan arus informasi" sebagai dasarnya. Sistem "pertemanan" di Google+ ini bergantung pada Circle. Setiap kali kita ingin menambah teman, kita diharuskan memasukannya minimal ke dalam 1 (satu) circle.

Efeknya circle ini terhadap arus informasi di mana? Pertama, kita dapat memilih circle mana yang ingin kita akses. Itu artinya kita tidak perlu mengakses Stream (timeline di Google+) yang berisi update dari seluruh circle yang kita miliki. Kalaupun kita lebih nyaman mengakses Stream, misalnya karena tidak mau repot buka circle satu per satu, Google+ pun menyediakan fitur untuk membatasi informasi yang masuk ke dalam Stream dari setiap circle.

Misalkan kita memiliki circle "Menarik", "Teman", "Rekan Kerja", dan "Gak Jelas Juntrungannya". Kita bisa saja mengakses circle "Menarik" yang berisi informasi yang memang menarik untuk kita ikuti tanpa harus membuka Stream. Seandainya kita lebih nyaman mengakses informasi lewat Stream, kita bisa atur supaya "Gak Jelas Juntrungannya" itu tidak muncul sama sekali di Stream kita. Praktis, bukan?

blur-marketing.com
Facebook
Berikutnya adalah Facebook. Facebook ini pernah menjadi jejaring sosial yang paling "ramai" dalam hidup saya. Kenapa "ramai"? Karena fitur untuk mengelola arus informasi di Facebook ini sangat terbatas. Seiring dengan munculnya fitur List dan Subscriptions, timeline management di Facebook menjadi lebih mudah. Dalam konteks pengelompokan informasi, fungsi list di Facebok mirip dengan fungsi circle di Google+.

Sayangnya list di Facebook ini tidak menyediakan fitur untuk membatasi agar informasinya tidak masuk ke dalam News Feed (timeline di Facebook). Untuk fitur yang satu ini, circle di Google+ jelas lebih to the point. Kalaupun kita ingin orang-orang tertentu tidak masuk ke dalam News Feed kita, kita harus unsubscribe satu per satu dari akun masing-masing orang.

blog.backupify.com
Twitter
Yang terakhir adalah Twitter. Twitter ini sepertinya memang jejaring sosial yang dirancang untuk membanjiri hidup kita dengan informasi. Hubungan "pertemanan" di Twitter didasari oleh saling follow. Jadi saat kita berteman dengan orang lain di Twitter, kita sudah secara otomatis membuka pintu untuk masuknya arus informasi yang lebih banyak lagi.

Konsep "pertemanan" Twitter di atas sangat berbeda dengan Google+ dan Facebook. Di Google+, kita "berteman" dengan memasukan seseorang ke dalam salah satu circle kita. Akan tetapi, kita bisa saja memasukan orang itu ke dalam circle yang isinya tidak masuk ke dalam Stream kita. Di Facebook, kita "berteman" dengan menjadi Friends. Dengan fitur Subscriptions, kita bisa saja unsubscribe dari teman kita ini sehingga informasinya tidak masuk ke dalam News Feed kita.

Untungnya Twitter pun menyediakan List. Dengan adanya list di Twitter ini, kita bisa mengikuti informasi sebuah akun Twitter lewat list tanpa harus follow akun tersebut. Itu artinya informasi dari akun tersebut dapat diakses lewat list terkait tanpa harus memenuhi timeline Twitter kita.

Penutup
Fitur-fitur yang saya paparkan di atas itu cukup membantu kita mengelola banyaknya informasi yang kita akses lewat timeline kita. Bila kita perluas pembahasan ini ke berbagai third party application, tentu akan ada lebih banyak fitur lain yang jauh lebih baik. Akan tetapi, hal penting yang perlu kita ingat adalah tools tidak akan berguna tanpa determinasi yang kuat dari kita sebagai pengguna tools. Secanggih apa pun fitur yang dapat membantu kita mengelola informasi di timeline, tidak satu pun akan berguna bila kita sendiri tidak punya keinginan untuk mengelola informasi itu.

Hal penting lain yang perlu kita ingat adalah dasar dari pengelolaan informasi ini bukan karena adanya information overload, tapi justru karena perilaku information overconsumption dari kita sendiri. Kita yang memutuskan untuk memasukan seseorang ke dalam circle, menjadi Friends dengan seseorang, atau follow seseorang. Jadi pada dasarnya kita sendiri yang memutuskan untuk membuka/menutup kran informasi di situs jejaring sosial langganan kita.

Hal pertama yang kita butuhkan adalah kesadaran, yaitu kesadaran bahwa kita sendiri yang membiarkan diri kita dibanjiri informasi. Kita harus berhenti menyalahkan banyaknya informasi yang beredar di Internet dan mulai membenahi perilaku kita dalam mengakses informasi di Internet. Bila kita mampu menanamkan kesadaran ini, mengelola informasi hanya semudah menekan tombol log out, mematikan smartphone, atau bahkan menghapus akun-akun yang mengganggu itu. Tidak perlu repot, bukan?

Rabu, 29 Februari 2012

Diet Informasi, Sebuah Konsep

http://lifehacker.com/5872436/how-to-start-your-information-diet
Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan buku (e-book) dengan judul yang menarik: The Information Diet. Cover dan deskripsi buku ini menarik minat saya untuk membacanya. Terus terang pada awalnya saya agak skeptis akan mendapatkan sesuatu yang baru dari buku ini, tapi saya beruntung karena saya memutuskan untuk tetap membacanya.

Sampai saat blog post ini saya buat, saya baru menyelesaikan 3 (tiga) bab pertama di buku itu. Agak sulit memaksakan diri untuk membaca buku di tengah kesibukan, kemalasan, dan rendahnya minat membaca saya. Bagi saya sendiri, 3 (tiga) bab dari sebuah buku yang pada dasarnya tidak terlalu relevan dengan kebutuhan saya adalah sebuah pencapaian yang luar biasa.

3 (tiga) bab pertama di buku itu sudah memberikan banyak pelajaran penting bagi diri saya. Bagi saya pribadi, 3 (tiga) bab pertama di buku itu berhasil membuka wawasan saya mengenai pola konsumsi informasi di era Internet dan jejaring sosial saat ini. Bukan sekedar membuka wawasan, saya bahkan berani mengatakan buku ini berhasil merubah persepsi saya mengenai pola konsumsi informasi ini.

Perubahan persepsi yang paling saya rasakan adalah tentang konsep information overload. Konsep ini sangat umum digunakan oleh berbagai pihak untuk menggambarkan betapa banyaknya informasi yang kita terima. Situs berita, situs jejaring sosial, situs blog, dan berbagai situs-situs lain telah berhasil memberikan sebegitu banyaknya informasi untuk kita konsumsi dalam kondisi campur aduk tak tentu. Information overload ditegaskan sebagai masalah yang kita hadapi bersama di tengah derasnya arus informasi dari Internet.

Konsep itu dibantah di dalam buku The Information Diet ini. Kenapa? Karena penggunaan kata "overload" itu tidak sejalan dengan kata "konsumsi". Di dalam kata "konsumsi" itu ada peran aktif dari subjek. Itu artinya saat kita mengkonsumsi informasi, kita sedang mengakses informasi itu secara sadar. Sementara "overload" sendiri mengimplikasikan bahwa subjek itu pasif. Dengan adanya information overload itu ada kesan bahwa kita dijejali informasi yang sangat banyak tanpa bisa memilih secara sadar.

Dengan konsep yang sederhana tersebut, terlihat jelas bahwa masalahnya bukan pada information overload. Masalah yang kita hadapi saat ini adalah information overconsumption. Kita yang memilih secara sadar untuk mengakses informasi yang sangat banyak itu. Kita yang memilih untuk membaca berita di situs-situs berita. Kita yang memilih untuk terus mengikuti perkembangan di berbagai jejaring sosial dan blog langganan kita. Dan semua pilihan itu pada dasarnya kita lakukan secara sadar.

Memang benar bahwa ada faktor eksternal yang mempengaruhi pola konsumsi informasi kita. Saat berbagai situs berita berlomba untuk memberikan sebanyak mungkin informasi kepada kita, saat banyak orang berlomba membuat blog yang di-update sesering mungkin, saat berbagai situs bermunculan untuk memberikan informasi yang menarik, saat itulah pola konsumsi informasi kita mulai terganggu. Walau bagaimana pun, informasi itu dibuat semenarik dan sesering mungkin untuk memancing kita mengakses situs berita, jejaring sosial, blog, atau situs lainnya sesering mungkin.

Akan tetapi, bila kita kembali kepada konsep information overconsumption, faktor eksternal itu seharusnya tetap dapat kita kendalikan. Sebanyak apa pun informasi yang muncul di layar monitor kita, kita punya kuasa penuh untuk memilih bagian mana yang kita baca (akses) dan bagian mana yang tidak. Kita pun punya kuasa penuh untuk menentukan sumber informasi mana yang kita akses dan yang tidak kita akses. Kita bahkan punya kuasa penuh untuk menentukan apakah kita akan mengakses Internet atau tidak. Kata kuncinya ada pada kata "kuasa".

Kesimpulannya adalah banyak atau tidaknya informasi yang kita konsumsi itu bergantung pada kesadaran kita masing-masing. Apakah kita mau membatasi informasi yang kita akses atau tidak? Pilihan ini yang harus kita buat sebelum melanjutkan ke langkah-langkah kongkrit dalam diet informasi. Semua kembali kepada pilihan kita masing-masing.

--
Tulisan singkat tentang diet informasi dari penulis buku The Information Diet dapat diakses di sini:
http://lifehacker.com/5872436/how-to-start-your-information-diet

Selasa, 24 Januari 2012

Saat Iklan Mengalahkan Isi

Saat saya menelusuri sebuah situs, saya sedang menelusuri isi yang ada di dalam situs tersebut. Tujuannya? Untuk mendapatkan informasi yang saya butuhkan. Oleh karena itu, saat saya sedang mencari sesuatu lewat Google Search, saya berharap mendapatkan kumpulan link ke situs yang relevan. Yang dimaksud relevan di sini tentu saja situs yang isinya sesuai dengan kebutuhan saya.

Sampai saat ini, Google senantiasa berhasil menjadi tempat pencarian andalan saya. Hasil-hasil yang ditampilkan oleh Google Search senantiasa relevan. Yang saya butuhkan adalah kata kunci pencarian yang tepat saja. Dalam hal ini, fitur search suggestion dari Google itu seringkali menjadi lifesaver; terutama untuk mencari hal-hal yang terbilang unik (jarang dicari).

Kembali ke masalah isi. Yang saya butuhkan dari sebuah halaman web (atau sebuah situs) adalah isinya. Bila saya mengacu pada model bisnis berbasis iklan yang lumrah di Internet, saya pun tidak mempermasalahkan keberadaan iklan di beberapa bagian dari halaman web yang saya kunjungi itu. Akan tetapi, toleransi saya terhadap iklan ini pun ada batasnya.

Saya paling tidak suka masuk ke dalam halaman web yang dibanjiri iklan. Sebegitu banyaknya iklan yang ditampilkan sampai porsi informasi yang relevan menjadi rendah. Ada kalanya penempatan iklannya pun sangat frontal dan mengganggu kenyamanan saya saat menelusuri isi halaman web tersebut. Bahkan kadang saya tidak segan untuk menutup halaman web itu dan beralih ke alternatif yang lain.

Sepertinya Google mulai bertindak untuk menangani masalah ini. Situs Mashable melaporkan bahwa Google berniat untuk merubah algoritma yang mereka gunakan untuk "menghukum" situs-situs yang dibanjiri iklan. Walaupun begitu, video yang sama melaporkan bahwa perubahan algoritma ini tidak akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil pencarian lewat Google Search. Video lengkap dari Mashable dapat ditemukan di sini: mashable.com/follow/videos/1404708026001-in-a-blog-post-thursday-a-google-engineer-explained-the-company-is-/.

Semoga saja algoritma ini segera diimplementasikan (atau justru sudah diimplementasikan?). Dengan begitu kualitas hasil pencarian Google pun akan semakin membaik. Bila hasil pencarian Google membaik, maka user experience dalam menggunakan Google pun akan meningkat. Walau bagaimana pun, alasan utama kita menggunakan Google itu karena hasilnya memang relevan. Bukan karena popularitasnya, kan?

Kamis, 19 Januari 2012

Kenapa PNS Tidak Produktif?

Kenapa PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Indonesia ini secara mayoritas dinilai tidak produktif? Stigma malas senantiasa menempel pada pribadi para PNS. Sebegitu lekatnya stigma ini menempel sampai orang-orang pun bisa terheran-heran bila melihat PNS yang bekerja dengan rajin. Lebih heran lagi kalau PNS yang bekerja dengan rajin ini mengerjakan pekerjaannya tanpa embel-embel uang.

Salah satu tujuan Reformasi Birokrasi adalah melepas stigma malas tersebut. Tentu saja usaha untuk melepas stigma tersebut tidak berhenti di PR (Public Relation) yang baik, tapi juga memperbaiki masalah-masalah kinerja yang ada lewat langkah nyata. Garda terdepan Reformasi Birokrasi saat ini tentu saja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), tapi setiap instansi pemerintah saat ini pun turut aktif membenahi kinerja pegawai-pegawai yang mereka naungi.

Untuk bisa mengatasi masalah produktivitas PNS ini, kita perlu mencari tahu dulu penyebabnya. Dalam tulisan kali ini, saya ingin memaparkan alasan-alasan di balik rendahnya produktivitas PNS ini. Namun sebelumnya perlu saya tegaskan bahwa apa yang akan saya paparkan di bawah ini hanya mengacu kepada pengalaman dan pengamatan pribadi saya. Jadi, saya senantiasa membuka ruang untuk diskusi.

Pertama, stigma santai yang menempel di PNS. Saya yakin banyak orang yang menganggap bahwa PNS itu adalah pekerjaan santai. Dengan anggapan seperti ini, maka orang-orang yang berminat bekerja sebagai PNS pun berharap dapat bekerja dengan santai. Bila pola pemikiran seperti ini terus hidup (dan berkembang), orang-orang yang bekerja sebagai PNS itu akan memiliki rasa enggan dibuat sibuk oleh pekerjaan. Akibatnya mayoritas PNS tetap saja orang-orang yang malas bekerja dan semakin memupuk stigma santai ini.

Kedua, jumlah pegawai yang terlalu banyak. Jumlah pegawai yang terlalu banyak sudah pasti mempengaruhi produktivitas pegawai secara signifikan. Bayangkan pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjakan oleh 1 orang justru dikerjakan oleh 4 orang. Andaikan ada 200 pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh 1 orang saja, pembagian di atas akan membuat beban kerja masing-masing orang menjadi 50 pekerjaan saja. Pekerjaan memang menjadi lebih ringan, tapi produktivitas pegawai menjadi (terlihat) lebih rendah.

Ketiga, jumlah pekerjaan yang terlalu sedikit. Kebalikan dari alasan kedua di atas, jumlah pekerjaan yang dibebankan pada 1 orang bisa saja terlalu sedikit. Kondisi ini mungkin saja terjadi antara lain karena struktur organisasi yang terlalu gemuk sehingga masing-masing unit di bawah sebuah instansi memiliki tanggung jawab yang lebih rendah dari kapasitasnya. Bila tanggung jawab masing-masing unit saja lebih rendah dari kapasitasnya, tentu saja beban kerja pegawai di dalam unit tersebut pun lebih rendah dari kapasitas pegawai tersebut.

Keempat, tuntutan pekerjaan yang longgar. Bagian ini serupa tapi tak sama dengan alasan ketiga di atas. Longgarnya tuntutan pekerjaan di sini tidak ada hubungannya dengan kuantitas pekerjaan, tapi lebih erat kaitannya dengan pengawasan dari atasan. Rendahnya pengawasan dari atasan mengakibatkan tidak adanya tekanan yang memadai untuk segera menyelesaikan pekerjaan. Akibatnya para bawahan dapat seenaknya menentukan deadline mereka sendiri. Dalam kondisi seperti ini, para PNS akan bekerja sesuai irama mereka sendiri tanpa ada faktor "atasan" untuk memacu mereka bekerja.

Kelima, eksploitasi pegawai yang rajin. Penyebabnya adalah sulitnya memberikan sanksi (hukuman) kepada pegawai yang tidak produktif sehingga para atasan memiliki kecenderungan untuk menyerahkan pekerjaan kepada bawahan yang rajin. Sayangnya kecenderungan seperti ini mungkin saja tidak mengenal batas. Para atasan ini terus saja menambah beban pekerjaan untuk pegawai yang rajin. Pada akhirnya yang rajin tetap (terpaksa) rajin dan yang malas tetap dengan urusan mereka sendiri; tanpa peduli.

Keenam, pekerjaan yang tidak sesuai kompetensi atau minat. Kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi di lingkungan PNS. Saya tidak akan menggali lebih jauh mengenai penyebabnya. Satu hal yang pasti, pegawai yang tidak memiliki kompetensi di bidang pekerjaannya akan menjadi pegawai yang produktif. Produktivitas itu akan semakin menurun bila pegawai yang bersangkutan pun tidak memiliki minat yang cukup di bidang pekerjaannya.

Daftarnya pun tidak berhenti di angka 6. Saya yakin masih ada alasan-alasan lain yang tidak berhasil saya tangkap lewat pengalaman dan pengamatan saya pribadi. Namun perlu saya tegaskan bahwa paparan di atas sengaja saya batasi pada alasan-alasan yang terkait dengan budaya dan kepribadian para PNS itu sendiri. Saya sengaja tidak membahas masalah gaji, remunerasi, atau hal-hal teknis lainnya yang juga memiliki pengaruh terhadap produktivitas PNS.

Tujuan saya berbagi masalah-masalah yang terkait kinerja PNS ini, termasuk lewat tulisan Meningkatkan Kinerja PNS, sebenarnya untuk menyampaikan bahwa masalah kemalasan PNS itu tidak sederhana. Produktivitas ini bukan sekedar masalah mental (karakter) PNS yang bersangkutan. Pada kenyataannya masih banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan; masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan. Penyelesaiannya pun tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan, kecuali tangan yang dimaksud ini dapat membentang dari Sabang sampai Merauke.