Jumat, 03 Oktober 2014

Menelusuri Jejak "Bajingan Kalian Semua" Adian Napitupulu

Ada yang belum tahu kalau Adian Napitupulu dikabarkan bersikap kasar dengan ngetwit "Bajingan kalian semua!" di Twitter? Saya yang tidak gaul ini baru tahu tadi pagi lewat Facebook. Kabar tersebut saya dapatkan lewat sebuah gambar di Facebook seperti yang bisa dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1: Bajingan kalian semua!
Terdengar kasar, bukan? Apalagi bila yang mengucapkannya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sikap kasar seperti itu semakin sulit diterima banyak orang. Apalagi bagi orang-orang yang sudah terlanjur antipati dengan anggota DPR atau dengan Adian Napitupulu (dan partai yang mendukungnya), sikap kasar ini kemungkinan besar akan menjadi semacam katalisator yang memancing cemoohan.

Kabar seperti ini biasanya ibarat angin lalu bagi hidup saya, tapi insting saya untuk melakukan klarifikasi sedang menyala. Saya langsung saja mengunjungi akun Twitter Adian Napitupulu (https://twitter.com/AdianNapitupulu). Saya coba telusuri timeline Adian Napitupulu, tapi yang saya temukan justru penyangkalan seperti yang terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2: Penyangkalan Adian Napitupulu 1
Gambar 3: Penyangkalan Adian Napitupulu 2
Pertanyaannya adalah apa mungkin ada akun palsu? Apa mungkin ada 2 (dua) akun yang menggunakan nama pengguna yang persis sama? Bukankah itu tidak diperbolehkan oleh Twitter? Jawabannya adalah "mungkin saja" karena huruf "L" kecil dan "i" besar itu memiliki bentuk yang sama di interface (antar muka) Twitter. Kondisi ini tidak hanya berlaku di Twitter. Facebook, Google+, antar muka aplikasi-aplikasi browser, antar muka aplikasi-aplikasi di Android, dan berbagai antar muka lainnya menggunakan jenis huruf yang sama seperti antar muka Twitter.

Pertanyaan berikutnya adalah apa memang benar ada akun palsu? Jangan-jangan ini semua hanya propaganda untuk menutupi aib pemilik akun yang bersangkutan. Untuk menjawab pertanyaan ini, penelusurannya pun saya lanjutkan.

Saya memulai penelusuran saya dengan mencari "bajingan kalian semua" menggunakan fitur pencarian di Twitter; bukan lewat Google. Hasilnya? Sudah muncul terlalu banyak twit yang berisi kata-kata tersebut sehingga penelusurannya menjadi sulit.

Petunjuk berikutnya yang saya gunakan adalah "parikecrit". "parikecrit" ini adalah nama akun Twitter yang dikatai "muka ndeso" oleh Adian Napitupulu seperti yang terlihat pada Gambar 1. Sayangnya di akun @parikecrit itu pun saya tidak menemukan petunjuk yang berarti. Akhirnya saya mencoba mencari "parikecrit" menggunakan fitur pencarian di Twitter. Hasilnya? Saya menemukan akun lain yang mengkutip twit terkait dari parikecrit sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4: Twit parikecrit yang dikutip oleh hampirpunah
Untuk memastikan dugaan akun palsu, saya langsung copy semua teks dalam twit hampirpunah itu dan paste ke aplikasi Notepad. Hasilnya? Ilusi yang muncul akibat tertukarnya huruf "L" kecil dan "i" besar itu terbukti sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5. Pada gambar tersebut, kita dapat melihat dengan jelas nama akun "adiannapitupuiu"; bukan "adiannapitupulu" (sengaja saya tulis dalam huruf kecil untuk memperjelas perbedaannya).

Gambar 5: Twit hampirpunah versi Notepad
Yang berikutnya saya cek adalah "Syakiransa". "Syakiransa" ini adalah akun yang dikatai "ngemeng" oleh Adian Napitupulu seperti yang terlihat pada Gambar 1. Berbeda dengan parikecrit, twit terkait dari Syakiransa ini masih bisa ditelusuri di akunnya. Saya berhasil menemukan twit balasan atas twit "ngemeng" tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 6. Versi tmi.me dari twit tersebut bisa dilihat pada Gambar 7.

Gambar 6: Twit balasan Syakiransa
Gambar 7: Twit balasan Syakiransa versi tmi.me
Dari Gambar 7 saja kita bisa langsung melihat "adiannapitupuiu"; bukan "adiannapitupulu". Untuk memastikannya, saya pun melakukan proses copy-paste yang sama dengan yang saya lakukan pada twit hampirpunah sebelumnya. Lagi-lagi saya menemukan bahwa yang digunakan adalah nama akun "adiannapitupuiu" sebagaimana terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8: Twit balasan Syakiransa versi Notepad
Bagi saya, temuan-temuan saya di atas memastikan bahwa telah terjadi fitnah. Saya pribadi bukan bermaksud membela orang yang difitnah. Saya pun tidak bermaksud menunjuk siapa pun yang melakukan fitnah. Saya hanya memang tidak suka melihat fitnah bertebaran karena fitnah itu memang lebih kejam daripada pembunuhan. Kalau bisa, saya bahkan ingin menjadi orang yang mencegah terjadinya fitnah. Sayangnya bola salju yang digulirkan sudah terlanjur besar dan sulit untuk dihentikan. Sulit dihentikan atau malah tidak mungkin dihentikan? Entahlah.

Satu hal yang pasti, saya berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjadi orang yang suka menebar fitnah. Hal itu memang bertentangan dengan prinsip hidup yang saya jalani. Hal itu pula yang menjadi alasan utama kenapa saya akhirnya melakukan penelusuran di atas dan meluangkan waktu saya untuk menuangkan hasilnya dalam tulisan ini.

Pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa ini adalah melakukan klarifikasi itu penting; sepertinya kita perlu membiasakan hal itu. Jelas bahwa sumber informasi yang terpercaya sekalipun, misalnya teman kita yang sangat jujur, mungkin saja salah memahami sebuah informasi sehingga informasi yang salah itu dianggap benar dan diteruskan kepada kita. Akan lebih baik menahan informasi yang belum pasti kebenarannya daripada mengambil risiko melakukan fitnah atau menyesatkan orang lain. Dengan sikap seperti itu, paling tidak kita sudah mengambil satu langkah ke depan untuk menjadikan kehidupan ini lebih baik.

Edit (3 Oktober 2014 20:55):
Saya sudah menyempatkan diri untuk mengunjungi akun Twitter "adiannapitupuiu" dan isinya kosong melompong seperti yang terlihat pada Gambar 9. Gambar tersebut lupa saya cantumkan dalam tulisan di atas.

Gambar 9: Akun Twitter adiannapitupuiu
Sekian.

Kamis, 28 Agustus 2014

11 Aplikasi Android Penunjang Produktivitas

Dan blog ini pun akhirnya di-update kem... Ah sudahlah. Saya mulai saja.

Saya sudah lama menggunakan Android sebagai sistem operasi pilihan di smartphone saya. Smartphone pertama yang saya miliki adalah (Samsung) Galaxy Note yang merupakan... *uhuk*... kado ulang tahun dari istri saya. Galaxy Note itu menjadi andalan untuk menunjang kebutuhan hidup saya sehari-hari, mulai dari hal-hal yang produktif hingga hal-hal yang kurang produkt... maksud saya, hingga hal-hal yang sifatnya hiburan semata.

Android*
Beberapa waktu yang lalu, saya memutuskan untuk membeli (Lenovo) A859. Dengan kehadiran A859 itu, otomatis saya harus memindahkan aplikasi-aplikasi andalan saya yang biasa saya gunakan di Galaxy Note. Sayangnya A859 itu harus rawat inap karena fitur GPS-nya bermasalah, yaitu tidak bisa menentukan lokasi. Dengan kepergian A859 itu, otomatis saya harus mengaktifkan kembali Galaxy Note saya (yang sudah di-reset ke factory settings karena hendak saya jual). Dalam proses migrasi yang menjemukan dan melelahkan ini, saya menyimpulkan bahwa dari semua aplikasi Android yang saya pakai, hanya ada beberapa aplikasi yang benar-benar menjadi andalan saya. Berikut ini adalah deskripsi singkat dari aplikasi-aplikasi tersebut dan manfaat yang saya rasakan selama menggunakannya.

Clean Master
Yang pertama adalah Clean Master. Clean Master ini sudah menjadi andalan saya untuk membersihkan storage di Android saya dari file yang sudah tidak terpakai, misalnya cache dari berbagai aplikasi atau file yang tersisa setelah uninstall (menghapus) sebuah aplikasi. Selain itu, Clean Master juga saya gunakan untuk mengelola aplikasi di Android saya seperti proses pemindahan ke SD Card atau menonaktifkan/menghapus aplikasi-aplikasi yang sudah tidak terpakai.

WhatsApp
Yang kedua adalah WhatsApp (Messenger). WhatsApp sudah lama menjadi aplikasi andalan saya untuk urusan instant messaging atau chatting. Proses instalasinya (dan juga migrasinya) mudah karena hanya memerlukan nomor mobile phone yang sama. Tampilannya tidak ribet dan tidak direcoki iklan atau embel-embel lainnya. Intinya, simple.

Any.do
Yang ketiga adalah Any.do. Any.do adalah aplikasi to-do list andalan saya. Fitur-fitur yang membuat saya memilih Any.do di antara segudang aplikasi sejenis adalah fitur sinkronisasi dengan menggunakan akun Google, pengaturan recurring task (aktivitas berulang) yang terbilang fleksibel (bahkan untuk versi gratisnya), dan pilihan snooze yang variatif (ada pilihan snooze selamat 3 jam atau bahkan 1 hari saat saya sedang super malas, eh, sibuk). Sudah ada beberapa aplikasi sejenis yang pernah saya coba (salah satunya adalah Wunderlist), tapi saya belum berhasil menemukan pengganti Any.do untuk Android saya.

Andromoney
Yang keempat adalah Andromoney. Andromoney adalah aplikasi yang saya andalkan untuk mengelola keuangan pribadi saya. Aplikasi ini mendukung mata uang rupiah, pengelolaan lebih dari 1 rekening (tunai, bank, dsb.), pengkategorian pengeluaran/pemasukan, dan mampu menampilkan laporan pengeluaran/pemasukan yang enak dilihat dan mudah dimengerti dengan rentang waktu yang fleksibel. Satu-satunya hal yang mengganjal adalah mode pengelolaan anggaran untuk masing-masing kategori pengeluaran yang berbasis persentase dari anggaran bulanan, padahal menurut saya akan lebih baik bila setiap kategori memiliki anggaran sendiri dan keseluruhannya dapat dijumlahkan menjadi anggaran bulanan. Walaupun begitu, isu mengenai pengelolaan anggaran ini tidak signifikan sehingga saya tetap memutuskan Andromoney sebagai aplikasi pengelolaan keuangan andalan saya.

BRIMobile
Yang kelima adalah BRIMobile. BRIMobile adalah aplikasi mobile banking dari BRI. Apa yang istimewa dari BRIMobile? Aplikasi ini menjadi andalan saya karena dengan aplikasi ini saya bisa menggunakan Internet Banking tanpa menggunakan token yang dikirim via SMS. Dengan fitur Internet Banking, saya bisa menggunakan aplikasi ini tanpa tambahan biaya (berbeda dengan SMS Banking yang memotong pulsa). Dengan token yang "hard-coded" saat proses instalasi aplikasi ini, setiap transaksi tidak lagi mengharuskan kita memasukan token. Tidak lagi saya harus menunggu token atau mengorbankan pulsa untuk menerima token tersebut. Walaupun begitu, aplikasi ini tetap mengharuskan kita memasukan password untuk setiap transaksi (untuk meminimalisir kebocoran yang mungkin terjadi). Dengan kelebihan-kelebihan ini, BRIMobile menjadi aplikasi Internet Banking andalan saya sebagai nasabah BRI.

WPS Office
Yang keenam adalah WPS Office. WPS Office (sebelumnya bernama Kingsoft Office) adalah andalan saya dalam mengakses/mengolah dokumen, spreadsheet, dan presentasi di Android. Yang membuat aplikasi ini lebih istimewa adalah fitur yang memungkinkan saya untuk mengedit dokumen-dokumen yang saya simpan di Google Drive secara langsung. Saya memang belum menggunakan aplikasi ini secara intensif (karena saya masih merasa nyaman menggunakan laptop saat mengolah dokumen), tapi saya pribadi memang belum menemukan aplikasi sejenis yang bisa menggeser WPS Office dari Android saya.

Bittorrent Sync
Yang ketujuh adalah Bittorrent Sync. Bittorrent Sync sudah lama menjadi aplikasi andalan saya untuk sinkronisasi dokumen antara Android dan laptop saya. Sebelumnya saya menggunakan Dropsync yang merupakan aplikasi untuk melakukan sinkronisasi antara Android dengan akun Dropbox. Untuk sinkronisasi antara akun Dropbox dengan laptop saya cukup menggunakan aplikasi resmi dari Dropbox untuk PC. Dropsync sendiri sebenarnya terbilang handal, tapi sayang versi gratisnya hanya memperbolehkan sinkronisasi 1 folder saja (tentu saja sub-folder juga tidak diperbolehkan). Ini yang menjadi salah satu alasan kenapa saya beralih ke Bittorrent Sync. Tidak hanya itu, Bittorrent Sync juga tidak menggunakan layanan cloud storage seperti Dropbox atau Google Drive sehingga sinkronisasinya murni antara Android dan laptop tanpa adanya perantara. Ini berarti batasan ukuran file dan storage yang harus kita patuhi di layanan cloud storage pun tidak lagi menjadi kendala dengan sinkronisasi menggunakan Bittorrent Sync.

Google Keep
Yang kedelapan adalah Google Keep. Google Keep merupakan aplikasi penyimpan catatan yang ringan, tanpa embel-embel, dan mendukung sinkronisasi (hampir) real-time. Aplikasi ini menggantikan posisi Evernote di Android saya karena Evernote terlalu berat dan kompleks untuk catatan-catatan ringan yang biasa saya buat. Saya tidak mengatakan Evernote itu buruk, tapi lebih kepada tidak cocok dengan pola penyimpanan catatan yang biasa saya lakukan.

Google Play Books
Yang kesembilan adalah Google Play Books (Play Books). Play Books sudah menjadi aplikasi andalan saya dalam urusan baca-membaca e-book (dalam format PDF atau EPUB). Fitur yang disediakan sudah memadai untuk memenuhi kebutuhan baca-membaca saya seperti bookmark, mengingat halaman terakhir yang saya baca, dan menyimpan e-book di dalam Android saya (untuk dibaca saat saya offline). Akan tetapi, fitur yang benar-benar membuat saya beralih dari Aldiko ke Play Books adalah fitur sinkronisasi. Dengan Play Books, saya bisa membaca e-book di Android dan selanjutnya meneruskan membaca di laptop atau device lain yang saya miliki.

Google Drive dan Dropbox
Yang kesepuluh dan kesebelas (akhirnya daftar ini selesai juga saya buat) adalah Google Drive dan Dropbox. Kedua aplikasi ini adalah layanan cloud storage yang saat ini masih aktif saya gunakan. Google Drive saya gunakan untuk menyimpan dokumen-dokumen yang biasa saya olah secara online menggunakan Google Docs, sementara untuk file lainnya, misalnya backup data Andromoney yang saya pakai, lebih sering saya simpan di Dropbox. Walaupun begitu, 2 aplikasi ini sebenarnya tidak terlalu penting karena saya masih bisa mengakses dokumen-dokumen di Google Drive lewat WPS Office dan backup data Andromoney pun masih bisa disimpan di tempat lain.

Demikian 11 aplikasi Android yang menunjang produktivitas harian saya. Daftar di atas tentu saja tidak mencantumkan aplikasi-aplikasi built-in (pre-installed) seperti Gmail, Google Calendar, Hangouts, dan Google Maps yang juga sulit terpisahkan dari kehidupan saya sehari-hari. Daftar tersebut pun sifatnya subjektif karena lebih banyak mengacu pada kecenderungan dan pengalaman saya sendiri dalam memilih aplikasi yang saya perlukan di dalam Android saya.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Kamis, 17 Juli 2014

Potensi Besar Sistem Belajar Online

Dan blog ini pun akhirnya di-update kembali.

Dan sepertinya kalimat di atas akan menjadi trademark untuk menulis di Teknokrasi.

Tulisan kali ini merupakan dampak langsung dari membaca buku One World Schoolhouse yang ditulis oleh Salman Khan. Saya sendiri belum membaca habis buku tersebut; saya baru selesai membaca 6 bab dalam Part 1: Learning to Teach. Dari bagian yang sudah saya baca, saya berhasil menyarikan salah satu esensi pentingnya, yaitu mengenai potensi besar sistem belajar online (daring).

Saya sendiri sudah cukup sering menggunakan sistem belajar daring. Salah satu sistem yang berkesan adalah layanan dari Code School (www.codeschool.com). Code School adalah salah satu situs belajar daring yang fokus pada pemrograman. Di situ saya banyak belajar tentang JavaScript; salah satu bahasa pemrograman yang sangat banyak dipakai untuk mengembangkan aplikasi berbasis Web. Sebelumnya saya juga pernah menggunakan layanan dari Codecademy (www.codecademy.com) yang setali tiga uang dengan Code School.

Sistem belajar online (daring)*
Ada beberapa hal yang membuat sistem belajar online di Code School atau Codecademy menarik. Pertama, interaktif. Sistem belajar mereka memungkinkan kita untuk membuat kesalahan, mendapat petunjuk terkait kesalahan yang kita buat, kemudian berusaha untuk memperbaikinya. Kedua, alur. Sistem belajar mereka tidak sekedar menyajikan materi, tapi juga mengelompokan materi-materi sesuai kategori/minat dalam bentuk urutan mulai dari tingkat dasar hingga tingkat lanjut. Ketiga, ego booster. Sistem belajar mereka memberi penghargaan berupa nilai dan badge (lencana) yang, bagi saya, memberikan kepuasan tersendiri.

Walaupun begitu, potensi sistem belajar daring itu sebenarnya tidak pernah tertanam dengan baik dalam diri saya. Saya masih menganggap nilai tambah dari sistem belajar daring itu HANYA ada pada sisi jarak dan waktu. Nilai tambah "jarak" adalah karena saya tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk menghadiri sesi pelajaran di suatu kelas. Sementara nilai tambah "waktu" adalah karena saya tidak dibatasi oleh waktu pelaksanaan sesi pelajaran di kelas terkait. Potensi "besar" sistem belajar daring masih terbatas pada 2 (dua) hal tersebut, padahal dari pengalaman saya di Code School dan Codecademy saja seharusnya sudah cukup untuk mengenali potensi lain. Untungnya persepsi saya yang dangkal ini akhirnya berubah setelah saya membaca Part 1 dari buku One World Schoolhouse.

Apa saja potensi besar sistem belajar daring yang saya maksud?

Pertama, mengakomodir kecepatan belajar siswa yang berbeda-beda. Sistem belajar daring sangat mengakomodir hal tersebut. Mulai dari siswa yang sangat cepat hingga siswa yang sangat lambat memahami sebuah materi dapat menggunakan sistem belajar daring yang sama. Bila kita bandingkan dengan sistem belajar di kelas, nilai tambahnya menjadi sangat jelas. Sistem belajar di kelas mengharuskan setiap siswa belajar dengan kecepatan yang sama; yang cepat menjadi unggul, yang lambat pasti tertinggal. Sistem belajar di kelas pada dasarnya memang tidak mengakomodir perbedaan kecepatan belajar siswa.

Kedua, meminimalisir tekanan waktu, guru, atau siswa lain. Hal ini masih terkait dengan perbedaan kecepatan belajar siswa. Dalam sistem belajar di kelas, siswa yang tertinggal kemungkinan besar akan mengalami tekanan dari waktu belajar yang terbatas, tekanan dari guru yang harus melanjutkan materi selanjutnya, atau tekanan dari siswa lain yang memang lebih unggul dalam pelajaran. Dalam sistem belajar daring, semua tekanan ini dapat diminimalisir karena masing-masing siswa dapat mengatur waktunya sendiri untuk belajar tanpa harus mengikuti perintah dari guru dan tanpa perlu merasa minder akibat keunggulan siswa lain.

Ketiga, mudah bagi siswa untuk berhenti dan beristirahat saat jenuh atau kehilangan fokus. Kemampuan orang untuk tetap fokus memang berbeda-beda; sama seperti halnya kecepatan belajar orang. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat sistem belajar daring unggul dibandingkan sistem belajar di kelas. Dalam sistem belajar daring, setiap siswa bisa dengan mudah berhenti belajar dan beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa jenuh dan mencoba mengembalikan konsentrasi yang hilang. Sebaliknya dalam sistem belajar di kelas, setiap siswa tidak mungkin melakukan ini karena waktu belajar dan waktu istirahatnya dibatasi.

Keempat, memaksa siswa untuk belajar secara aktif; bukan pasif. Inilah daya tarik utama dari sistem belajar daring. Sistem belajar daring akan memaksa siswa untuk memilih materi yang ingin dipelajari, kapan ingin memulainya, kapan ingin berhenti mempelajarinya, kapan ingin beralih ke materi yang lebih tinggi tingkat kesulitannya atau ke materi yang ada di kategori berbeda, dan lain-lain. Di sini siswa dituntut untuk aktif memilih dan aktif belajar. Hal ini jelas berbeda dengan sistem belajar di kelas yang cenderung membuat siswa untuk bersikap pasif dan mengikuti arahan dan penjelasan dari guru.

Kelima, melimpahkan tanggung jawab belajar kepada siswa. Hal ini terkait erat dengan sifat belajar aktif yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem belajar daring. Siswa yang tidak aktif dalam sistem belajar daring akan tertinggal dengan sendirinya DAN tertinggalnya dia dalam pelajaran menjadi tanggung jawabnya sendiri. Berbeda dengan sistem belajar di kelas yang cenderung membuat siswa pasif. Kegagalan siswa dalam memahami materi dan tertinggal pelajaran dalam sistem belajar di kelas akan menjadi tanggung jawab guru atau bahkan menjadi tanggung jawab sistem belajar secara keseluruhan.

Keenam, memudahkan akses terhadap materi yang sudah dipelajari. Hal ini termasuk salah satu perbedaan mendasar antara sistem belajar daring dan sistem belajar di kelas. Materi-materi dalam sistem belajar daring tersedia dalam bentuk elektronik sehingga mudah disimpan, dikelola, dan disebarluaskan. Akses terhadap materi-materi yang lama (sudah pernah dipelajari) dapat dilakukan dengan mudah; semudah mengakses materi-materi yang sedang dipelajari. Bagaimana dengan buku-buku yang biasa digunakan dalam sistem belajar di kelas? Proses penyimpanan, pengelolaan, dan penyebarluasannya tentu jauh lebih sulit dibandingkan materi-materi berbentuk elektronik.

Penguasaan (mastery)*
Semua kelebihan-kelebihan tersebut akan membantu membawa siswa kepada penguasaan terhadap materi yang dipelajari; Salman Khan menggunakan istilah mastery learning di dalam bukunya. Penguasaan terhadap materi ini sebenarnya merupakan tujuan akhir dari proses belajar, tapi sistem belajar di kelas membuat tujuan ini menjadi sulit tercapai. Dalam sistem belajar di kelas, siswa harus mengikuti pelajaran yang diberikan sehingga seringkali materi-materi yang sebelumnya sudah dipelajari akan dilupakan begitu saja (biasanya setelah ujian) karena dianggap tidak lagi relevan dengan pelajaran saat ini. Kesulitan mengakses materi-materi yang sudah dipelajari justru memperkuat kondisi tersebut. Pada akhirnya yang menjadi tujuan belajar dalam sistem belajar di kelas terkesan hanya terbatas penguasaan materi untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tidak lebih dari itu!

Selain mastery learning, perlu saya tekankan juga bahwa sifat aktif dan penuh tanggung jawab dalam belajar yang tumbuh melalui sistem belajar daring ini memiliki dampak positif yang kuat dalam membentuk pribadi pelajar yang sesungguhnya. Kedua sifat tersebut akan mendorong seseorang untuk terus belajar tanpa mengenal waktu dan tempat. Orang seperti ini pun tidak akan membatasi ilmunya pada materi-materi yang itu-itu saja; dia akan terus mencari ilmu untuk membentuk kompetensi dalam dirinya. Inilah yang saya maksud dengan pribadi pelajar yang sesungguhnya.

Semua nilai tambah di atas sebenarnya juga saya rasakan saat saya mengakses Code School dan Codecademy. Saat menggunakan sistem belajar daring, saya bebas mengatur waktu belajar dan waktu istirahat saya tanpa tekanan apa pun, saya cenderung aktif dalam memilih materi yang ingin kejar, saya cenderung aktif untuk MENGEJAR materi yang saya pilih, saya bisa dengan mudah mengulang materi yang terlupakan atau memang belum saya pahami dengan baik, saya mengambil tanggung jawab penuh terhadap kegagalan dan keberhasilan saya dalam belajar, dan, yang paling penting, orientasi saya berubah menjadi penguasaan terhadap materi yang saya kejar (bukan sekedar untuk lulus ujian).

Sekedar informasi saja. Seiring dengan membaca buku One World Schoolhouse, saya juga menyempatkan diri untuk mencoba sistem belajar daring Khan Academy yang juga "dimotori" oleh Salman Khan. Saya menggunakan Khan Academy untuk mengasah kemampuan matematika saya. Setiap hal yang saya paparkan di atas, termasuk mastery learning, dapat saya temukan di Khan Academy. Masih banyak hal lain yang saya temukan di Khan Academy, tapi ceritanya akan saya simpan untuk lain waktu.

Ruang kelas*
Pertanyaan terakhir sebelum saya menutup tulisan ini adalah apakah sistem belajar di kelas menjadi tidak relevan?

Sistem belajar di kelas mungkin saja masih relevan, yaitu untuk memperdalam materi-materi yang sudah dipelajari sebelumnya. Dalam hal ini, peran guru tidak lagi sebagai pemberi materi yang bersifat searah, tapi lebih cenderung sebagai pembimbing yang mengedepankan interaksi 2 (dua) arah. Sifat aktif dan penuh tanggung jawab harus tetap ada di dalam diri setiap siswa agar sesi pelajaran di kelas diisi dengan komunikasi aktif antara guru dengan siswa atau antar-siswa. Dengan begitu, pemahaman komprehensif yang dimiliki guru dapat digali sedalam mungkin oleh para siswa sehingga waktu belajar di kelas menjadi optimal dalam konteks penguasaan materi.

Di sini perlu saya tegaskan juga bahwa kata kuncinya bukan pada "kelas", tapi pada "tatap muka". Bertemu dan berinteraksi langsung (tatap muka) dengan guru akan mempermudah siswa dalam memahami materi karena umpan balik yang diberikan guru kepada siswa pun cenderung lebih komprehensif dibandingkan pemahaman siswa tersebut. Hal ini jelas mempercepat proses belajar siswa karena siswa tersebut mendapatkan petunjuk yang berguna dalam menentukan arah (atau mungkin metode) dalam proses belajarnya.

Berhubung penekanannya pada "tatap muka", sistem belajar di kelas menjadi tidak relevan karena perkembangan teknologi semakin memungkinkan dilakukannya video conference multipengguna sepeti halnya Google+ Hangout. Batasan waktu dan tempat yang ada pada sistem belajar di kelas pada akhirnya menjadi tidak relevan. Bila ini terjadi, sistem belajar di kelas itu sendiri akan menjadi tidak relevan.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Kamis, 16 Januari 2014

Berhenti Baca Berita

Di era Internet ini, akses terhadap berita menjadi sangat mudah. Sebelumnya kita mengandalkan koran, majalah, radio, dan televisi untuk mendapatkan berita. Sedangkan di era Internet ini, kita bisa mendapatkan berita langsung lewat handphone kita sendiri. Saat ini ada begitu banyak sumber berita yang ada di Internet sampai otak kita kewalahan untuk menampung semua berita tersebut.

Dengan banyaknya sumber berita, jumlah berita yang beredar pun meningkat pesat. Arus masuknya berita ke dalam kehidupan kita pun menjadi terlalu banyak. Hal ini yang memicu munculnya istilah information overload. Istilah ini secara tegas menggambarkan bahwa informasi yang kita terima setiap harinya sudah melebihi kapasitas pengolahan informasi itu sendiri. Walaupun begitu, istilah information overload ini tidak tepat. Istilah yang tepat adalah information overconsumption.

Tok-tok*
Istilah information overconsumption itu lebih tepat menggambarkan jumlah informasi berlebih yang kita terima karena pada dasarnya informasi itu menjadi berlebih karena kita sendiri, secara aktif, memilih untuk mengakses informasi itu secara berlebihan. Kita sendiri memiliki pilihan untuk mengakses atau tidak mengakses sebuah situs berita; baik lewat handphone, browser, maupun sarana lainnya. Kita sendiri pula yang memiliki pilihan untuk mengakses sebuah informasi atau tidak. Sebanyak apa pun berita/informasi yang mengetuk pintu kita, pilihan untuk membukakan pintu dan membiarkan mereka masuk itu sepenuhnya ada di tangan kita. Jadi masalahnya bukan pada information overload, tapi pada information overconsumption.

Kembali ke berita, kenapa kita harus berhenti membaca berita? Kenapa kita harus berhenti mengakses situs-situs berita? Karena di situs-situs berita itu jumlah informasi berlebih yang tidak memiliki dampak signifikan dalam hidup kita itu berada. Dari segala bentuk informasi yang biasa kita akses sehari-hari, berita adalah informasi yang kemungkinan nilainya paling rendah. Pernyataan ini yang ingin ditegaskan oleh Rolf Dobelli dalam tulisannya News is bad for you (Berita itu buruk bagi Anda).

Dalam tulisan tersebut, Rolf Dobelli menjelaskan bahwa berita itu buruk bagi kita karena beberapa hal berikut ini:
  1. Berita itu menyesatkan.
  2. Berita itu tidak relevan dalam hidup kita.
  3. Berita itu tidak informatif.
  4. Berita itu membatasi kemampuan berpikir.
  5. Berita itu membunuh kreativitas.
5 (lima) hal di atas mungkin terkesan berlebihan. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca sendiri News is bad for you yang ditulis oleh Rolf Dobelli. Pada intinya, sesuai judul tulisannya, Rofl Dobelli ingin menegaskan bahwa berita itu memiliki dampak buruk bagi hidup kita dan berhenti membaca berita akan membuat hidup kita menjadi lebih baik.

Saya pribadi merasa apa yang disampaikan Ralf Dobelli itu memang benar adanya. Seringkali saya menemukan berita dengan judul dan isi yang gak nyambung, salah fokus target berita, dan informasi yang sangat dangkal, sehingga terkesan berita itu dibuat hanya untuk mengejar target publikasi. Kondisi seperti ini paling sering saya temukan pada situs-situs berita yang kuantitas iklannya mengalahkan isi karena berita yang ditampilkan lebih ditujukan untuk menarik jumlah pengunjung yang banyak ketimbang menyampaikan berita yang komprehensif dan informatif.

Jadi apakah kita benar-benar perlu berhenti membaca berita? Jawabannya tentu saja, TIDAK; tidak sepenuhnya berhenti.

Berhenti membaca berita hampir sama dengan menutup diri dari berbagai peristiwa di sekitar kita. Pilihan ini bisa berbalik menjadi kontraproduktif karena kita akan hidup ibarat katak dalam tempurung. Bukan pola hidup seperti itu yang perlu dicapai untuk menjaga diri kita dari information overconsumption. Pola yang perlu kita capai adalah pola konsumsi informasi yang cukup untuk membuka wawasan kita tanpa harus mengorbankan waktu untuk hal-hal yang tidak relevan dalam hidup kita. Kalau kita analogikan dengan diet makanan, maka yang perlu kita lakukan bukan berhenti makan sepenuhnya. Yang perlu kita lakukan adalah makan yang cukup untuk mengobati rasa lapar seraya menghindari junk food. Dengan demikian kita akan mendapatkan tubuh yang sehat tanpa harus menahan rasa lapar.

Pola konsumsi informasi yang sehat ini dikenal dengan istilah diet informasi. Dalam konteks membaca berita, langkah-langkah berikut ini dapat dijadikan panduan diet informasi kita:
  1. Hindari news ticker.
    Apakah itu akun Twitter atau  feed dari sebuah situs berita, news ticker adalah penyebab utama information overconsumption. Walaupun kita merasa bisa mengontrol diri kita untuk tidak membuka semua berita yang disodorkan, kemungkinan kita akan terpancing oleh judul-judul yang heboh itu masih besar. Akan lebih baik kalau kita bookmark situs-situs berita andalan kita untuk kita kunjungi di waktu senggang.
  2. Hindari situs berita yang banyak iklan.
    Saat kita memilih situs-situs berita andalan itu, sebaiknya kita hindari situs berita yang banyak iklan. Berdasarkan pengalaman saya pribadi, situs berita yang banyak iklan ini umumnya berisi berita yang tidak berbobot. Demi memperbanyak pengunjung, berita ditampilkan sedikit demi sedikit dengan judul yang menarik. Kondisi seperti ini jelas merusak kualitas berita karena berita yang ditampilkan kemungkinan besar tidak mendalam dan tidak komprehensif.
  3. Hindari topik-topik yang tidak relevan.
    Di setiap situs berita itu ada banyak topik karena memang didukung oleh banyak jurnalis/kontributor. Sebaliknya konsumen situs berita itu hanya ada 1, yaitu diri kita masing-masing. Perbandingan jumlah kontributor dan konsumen tersebut dengan jelas menyatakan bahwa jumlah berita yang ada jelas lebih banyak dari kapasitas konsumsi kita. Oleh karena itu akan lebih baik kalau kita menghindari topik-topik yang tidak relevan dalam hidup kita, sehingga berita yang kita konsumsi tidak hanya membuka wawasan, tapi juga bisa membantu kita membuat pilihan atau mengambil tindakan dalam hidup kita.
  4. Batasi waktu membaca berita.
    Langkah terakhir untuk membatasi jenis berita yang kita konsumsi adalah dengan membatasi waktu kita untuk membaca berita. Selihai apa pun kita dalam memilih berita yang "sehat", membatasi waktu untuk membaca berita tetap saja penting. Ibarat makanan sehat, kalau kita terlalu banyak memakannya, maka dampaknya tetap saja buruk bagi badan kita.
Isi maupun urutan dari langkah-langkah di atas bukanlah sebuah aturan baku yang kaku. Langkah-langkah tersebut dapat dikombinasikan, ditambahi, atau dikurangi dengan berbagai langkah-langkah lain. Seperti halnya diet makanan, diet informasi pun pada hakikatnya perlu disesuaikan dengan kondisi atau kebutuhan masing-masing orang yang menjalaninya. Yang saya cantumkan di atas hanya sebatas panduan umum tanpa melihat kebutuhan spesifik apa pun.

Waktu Terbang Pergi*
Saya pribadi sudah melakukan semua langkah-langkah tersebut: (1) Saya meminimalisir penggunaan feed reader untuk situs-situs berita; akun Twitter situs-situs berita bahkan tidak saya ikuti sama sekali. Pilihan utama saya jatuh pada bookmark. (2) Saya sudah menghindari situs-situs berita yang berisi headline bombastis tanpa laporan yang bagus. Dalam hal ini, kuantitas iklan di situs tersebut masih saya jadikan patokan. (3) Saya sudah mulai memilih topik-topik tertentu saat mengakses sebuah situs berita. Tidak semua berita utama perlu saya baca, apalagi yang tidak masuk ke dalam lingkaran minat saya. (4) Saya pun mulai membatas waktu untuk membaca berita. Tidak ada angka yang baku dalam batasan ini karena saya sudah memutuskan untuk membaca berita di waktu senggang. Bookmark yang saya miliki pun diurutkan berdasarkan kualitas informasinya sehingga memudahkan saya memilih saat waktu senggang saya terbatas.

Dari semua langkah-langkah di atas, langkah yang paling utama adalah "membatasi waktu". Dasarnya lagi-lagi serupa dengan diet makanan, yaitu dampak negatif makanan "sampah" yang kita konsumsi dapat ditekan selama kita bisa menekan jumlahnya. Begitu juga dengan diet informasi, informasi "sampah" yang kita konsumsi dapat ditekan dampak negatifnya selama kita menekan jumlahnya. Bedanya adalah kapasitas perut kita dapat dijadikan patokan untuk membatasi konsumsi makanan "sampah", sementara untuk informasi "sampah", yang dapat kita jadikan patokan adalah waktu.

Di titik ini, saya sudah merasakan sendiri dampak positif dari mengatur pola konsumsi berita dalam hidup saya. Saya tidak lagi sibuk mengejar sensasi yang ditawarkan berita terbaru. Saya tidak lagi merasa perlu mengikuti kabar terbaru di seluruh dunia ini. Waktu saya pun akhirnya bisa saya alihkan untuk mengakses informasi yang lebih relevan dan melakukan hal-hal yang lebih berarti dalam hidup saya. Dan bagian terbaik dari semua itu adalah saya sama sekali tidak merasa kudet (kurang update).

Demikian informasi yang bisa saya sampaikan terkait keputusan saya untuk mengurangi konsumsi berita sehari-hari. Langkah-langkah di atas, dikombinasikan dengan pengaturan pola konsumsi informasi di situs-situs jejaring sosial, telah secara tidak langsung meningkatkan kualitas hidup saya. Semoga saja tulisan ini juga bisa memberikan dampak positif yang sama bagi setiap pembacanya. 

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search