Kamis, 16 Januari 2014

Berhenti Baca Berita

Di era Internet ini, akses terhadap berita menjadi sangat mudah. Sebelumnya kita mengandalkan koran, majalah, radio, dan televisi untuk mendapatkan berita. Sedangkan di era Internet ini, kita bisa mendapatkan berita langsung lewat handphone kita sendiri. Saat ini ada begitu banyak sumber berita yang ada di Internet sampai otak kita kewalahan untuk menampung semua berita tersebut.

Dengan banyaknya sumber berita, jumlah berita yang beredar pun meningkat pesat. Arus masuknya berita ke dalam kehidupan kita pun menjadi terlalu banyak. Hal ini yang memicu munculnya istilah information overload. Istilah ini secara tegas menggambarkan bahwa informasi yang kita terima setiap harinya sudah melebihi kapasitas pengolahan informasi itu sendiri. Walaupun begitu, istilah information overload ini tidak tepat. Istilah yang tepat adalah information overconsumption.

Tok-tok*
Istilah information overconsumption itu lebih tepat menggambarkan jumlah informasi berlebih yang kita terima karena pada dasarnya informasi itu menjadi berlebih karena kita sendiri, secara aktif, memilih untuk mengakses informasi itu secara berlebihan. Kita sendiri memiliki pilihan untuk mengakses atau tidak mengakses sebuah situs berita; baik lewat handphone, browser, maupun sarana lainnya. Kita sendiri pula yang memiliki pilihan untuk mengakses sebuah informasi atau tidak. Sebanyak apa pun berita/informasi yang mengetuk pintu kita, pilihan untuk membukakan pintu dan membiarkan mereka masuk itu sepenuhnya ada di tangan kita. Jadi masalahnya bukan pada information overload, tapi pada information overconsumption.

Kembali ke berita, kenapa kita harus berhenti membaca berita? Kenapa kita harus berhenti mengakses situs-situs berita? Karena di situs-situs berita itu jumlah informasi berlebih yang tidak memiliki dampak signifikan dalam hidup kita itu berada. Dari segala bentuk informasi yang biasa kita akses sehari-hari, berita adalah informasi yang kemungkinan nilainya paling rendah. Pernyataan ini yang ingin ditegaskan oleh Rolf Dobelli dalam tulisannya News is bad for you (Berita itu buruk bagi Anda).

Dalam tulisan tersebut, Rolf Dobelli menjelaskan bahwa berita itu buruk bagi kita karena beberapa hal berikut ini:
  1. Berita itu menyesatkan.
  2. Berita itu tidak relevan dalam hidup kita.
  3. Berita itu tidak informatif.
  4. Berita itu membatasi kemampuan berpikir.
  5. Berita itu membunuh kreativitas.
5 (lima) hal di atas mungkin terkesan berlebihan. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca sendiri News is bad for you yang ditulis oleh Rolf Dobelli. Pada intinya, sesuai judul tulisannya, Rofl Dobelli ingin menegaskan bahwa berita itu memiliki dampak buruk bagi hidup kita dan berhenti membaca berita akan membuat hidup kita menjadi lebih baik.

Saya pribadi merasa apa yang disampaikan Ralf Dobelli itu memang benar adanya. Seringkali saya menemukan berita dengan judul dan isi yang gak nyambung, salah fokus target berita, dan informasi yang sangat dangkal, sehingga terkesan berita itu dibuat hanya untuk mengejar target publikasi. Kondisi seperti ini paling sering saya temukan pada situs-situs berita yang kuantitas iklannya mengalahkan isi karena berita yang ditampilkan lebih ditujukan untuk menarik jumlah pengunjung yang banyak ketimbang menyampaikan berita yang komprehensif dan informatif.

Jadi apakah kita benar-benar perlu berhenti membaca berita? Jawabannya tentu saja, TIDAK; tidak sepenuhnya berhenti.

Berhenti membaca berita hampir sama dengan menutup diri dari berbagai peristiwa di sekitar kita. Pilihan ini bisa berbalik menjadi kontraproduktif karena kita akan hidup ibarat katak dalam tempurung. Bukan pola hidup seperti itu yang perlu dicapai untuk menjaga diri kita dari information overconsumption. Pola yang perlu kita capai adalah pola konsumsi informasi yang cukup untuk membuka wawasan kita tanpa harus mengorbankan waktu untuk hal-hal yang tidak relevan dalam hidup kita. Kalau kita analogikan dengan diet makanan, maka yang perlu kita lakukan bukan berhenti makan sepenuhnya. Yang perlu kita lakukan adalah makan yang cukup untuk mengobati rasa lapar seraya menghindari junk food. Dengan demikian kita akan mendapatkan tubuh yang sehat tanpa harus menahan rasa lapar.

Pola konsumsi informasi yang sehat ini dikenal dengan istilah diet informasi. Dalam konteks membaca berita, langkah-langkah berikut ini dapat dijadikan panduan diet informasi kita:
  1. Hindari news ticker.
    Apakah itu akun Twitter atau  feed dari sebuah situs berita, news ticker adalah penyebab utama information overconsumption. Walaupun kita merasa bisa mengontrol diri kita untuk tidak membuka semua berita yang disodorkan, kemungkinan kita akan terpancing oleh judul-judul yang heboh itu masih besar. Akan lebih baik kalau kita bookmark situs-situs berita andalan kita untuk kita kunjungi di waktu senggang.
  2. Hindari situs berita yang banyak iklan.
    Saat kita memilih situs-situs berita andalan itu, sebaiknya kita hindari situs berita yang banyak iklan. Berdasarkan pengalaman saya pribadi, situs berita yang banyak iklan ini umumnya berisi berita yang tidak berbobot. Demi memperbanyak pengunjung, berita ditampilkan sedikit demi sedikit dengan judul yang menarik. Kondisi seperti ini jelas merusak kualitas berita karena berita yang ditampilkan kemungkinan besar tidak mendalam dan tidak komprehensif.
  3. Hindari topik-topik yang tidak relevan.
    Di setiap situs berita itu ada banyak topik karena memang didukung oleh banyak jurnalis/kontributor. Sebaliknya konsumen situs berita itu hanya ada 1, yaitu diri kita masing-masing. Perbandingan jumlah kontributor dan konsumen tersebut dengan jelas menyatakan bahwa jumlah berita yang ada jelas lebih banyak dari kapasitas konsumsi kita. Oleh karena itu akan lebih baik kalau kita menghindari topik-topik yang tidak relevan dalam hidup kita, sehingga berita yang kita konsumsi tidak hanya membuka wawasan, tapi juga bisa membantu kita membuat pilihan atau mengambil tindakan dalam hidup kita.
  4. Batasi waktu membaca berita.
    Langkah terakhir untuk membatasi jenis berita yang kita konsumsi adalah dengan membatasi waktu kita untuk membaca berita. Selihai apa pun kita dalam memilih berita yang "sehat", membatasi waktu untuk membaca berita tetap saja penting. Ibarat makanan sehat, kalau kita terlalu banyak memakannya, maka dampaknya tetap saja buruk bagi badan kita.
Isi maupun urutan dari langkah-langkah di atas bukanlah sebuah aturan baku yang kaku. Langkah-langkah tersebut dapat dikombinasikan, ditambahi, atau dikurangi dengan berbagai langkah-langkah lain. Seperti halnya diet makanan, diet informasi pun pada hakikatnya perlu disesuaikan dengan kondisi atau kebutuhan masing-masing orang yang menjalaninya. Yang saya cantumkan di atas hanya sebatas panduan umum tanpa melihat kebutuhan spesifik apa pun.

Waktu Terbang Pergi*
Saya pribadi sudah melakukan semua langkah-langkah tersebut: (1) Saya meminimalisir penggunaan feed reader untuk situs-situs berita; akun Twitter situs-situs berita bahkan tidak saya ikuti sama sekali. Pilihan utama saya jatuh pada bookmark. (2) Saya sudah menghindari situs-situs berita yang berisi headline bombastis tanpa laporan yang bagus. Dalam hal ini, kuantitas iklan di situs tersebut masih saya jadikan patokan. (3) Saya sudah mulai memilih topik-topik tertentu saat mengakses sebuah situs berita. Tidak semua berita utama perlu saya baca, apalagi yang tidak masuk ke dalam lingkaran minat saya. (4) Saya pun mulai membatas waktu untuk membaca berita. Tidak ada angka yang baku dalam batasan ini karena saya sudah memutuskan untuk membaca berita di waktu senggang. Bookmark yang saya miliki pun diurutkan berdasarkan kualitas informasinya sehingga memudahkan saya memilih saat waktu senggang saya terbatas.

Dari semua langkah-langkah di atas, langkah yang paling utama adalah "membatasi waktu". Dasarnya lagi-lagi serupa dengan diet makanan, yaitu dampak negatif makanan "sampah" yang kita konsumsi dapat ditekan selama kita bisa menekan jumlahnya. Begitu juga dengan diet informasi, informasi "sampah" yang kita konsumsi dapat ditekan dampak negatifnya selama kita menekan jumlahnya. Bedanya adalah kapasitas perut kita dapat dijadikan patokan untuk membatasi konsumsi makanan "sampah", sementara untuk informasi "sampah", yang dapat kita jadikan patokan adalah waktu.

Di titik ini, saya sudah merasakan sendiri dampak positif dari mengatur pola konsumsi berita dalam hidup saya. Saya tidak lagi sibuk mengejar sensasi yang ditawarkan berita terbaru. Saya tidak lagi merasa perlu mengikuti kabar terbaru di seluruh dunia ini. Waktu saya pun akhirnya bisa saya alihkan untuk mengakses informasi yang lebih relevan dan melakukan hal-hal yang lebih berarti dalam hidup saya. Dan bagian terbaik dari semua itu adalah saya sama sekali tidak merasa kudet (kurang update).

Demikian informasi yang bisa saya sampaikan terkait keputusan saya untuk mengurangi konsumsi berita sehari-hari. Langkah-langkah di atas, dikombinasikan dengan pengaturan pola konsumsi informasi di situs-situs jejaring sosial, telah secara tidak langsung meningkatkan kualitas hidup saya. Semoga saja tulisan ini juga bisa memberikan dampak positif yang sama bagi setiap pembacanya. 

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search