Selasa, 12 Juni 2012

Diet Informasi, Siapa yang Peduli?

Setelah 124 halaman buku The Information Diet yang ditulis oleh Clay A. Johnson dan sedikit browsing tentang diet informasi, saya pun menyadari bahwa diet informasi, sebagaimana diet-diet yang lain, juga membutuhkan komunitas. Sebuah komunitas yang sengaja dibentuk dalam rangka diet informasi seperti  situs www.informationdiet.com. Sebuah komunitas untuk bertukar tips, pendapat, dan berbagai pemikiran yang dapat membantu mencapai keberhasilan para anggota komunitas dalam diet mereka masing-masing. Dengan adanya komunitas seperti ini, setiap orang yang terlibat dapat saling mengisi dan menguatkan agar tetap bertahan untuk tidak terbawa gencarnya arus informasi yang tersedia di sekitar kita.

Saya pun mencoba googling dengan kata kunci "diet informasi", baik dengan tanda kutip maupun tanpa tanda kutip. Ternyata halaman pertama hasil pencarian dari Google tidak berhasil menemukan situs yang membahas tentang diet informasi ini. Itu pun saya sudah mencoba mencari lewat Google Indonesia (google.co.id). Entah memang tidak ada yang terpikir akan konsep diet informasi ini atau memang tidak ada yang berminat untuk membahas tentang diet informasi; yang jelas pencarian dengan kata kunci "diet informasi" ini justru menampilkan situs-situs yang membahas tentang "informasi diet"; diet makanan tentunya.

Memangnya diet informasi ini seberapa penting? Bagi saya, diet informasi itu sepenting mengembalikan attention span saya yang sudah terlalu sering tercecer. Mulai dari situs jejaring sosial sampai berbagai situs berita sudah berhasil memancing saya untuk terus memantau mereka sampai saya sendiri merasa konsentrasi saya saat bekerja menjadi jauh berkurang. Rendahnya konsentrasi ini jelas mempengaruhi efisiensi dan efektivitas saya dalam bekerja.
... mengembalikan attention span saya yang sudah terlalu sering tercecer.
Langkah pertama diet informasi saya tentu saja fokus pada hal di atas. Saya mulai membatasi waktu saya untuk mengakses situs jejaring sosial dan situs berita. Bila waktu saya sudah habis, saya tutup semua browser windows (atau tabs) yang tidak terkait dengan pekerjaan. Bila waktunya bekerja, saya fokus untuk bekerja. Bila waktunya mencari tahu kabar sekitar, saya pun fokus di situ. Itu artinya pikiran saya tidak terus-menerus lompat dari satu hal ke hal yang lain.Walaupun sesekali waktu saya masih membiarkan diri saya "kecolongan", pembatasan waktu ini paling tidak membantu pikiran saya untuk lebih fokus.

Pembatasan waktu di atas tentu saja fleksibel. Saya yakin pembatasan waktu yang terlalu kaku justru akan menyulitkan diri saya sendiri. Inti dari langkah di atas adalah bagaimana bisa tetap fokus pada satu hal saja. Yang penting bagi saya adalah bagaimana memikirkan setiap hal satu per satu; tidak bersamaan. Bila tiba waktunya untuk bekerja, saya ucapkan selamat tinggal kepada random browsing di Internet. Bila tiba waktunya untuk random browsing, saya tutup semua hal yang terkait dengan pekerjaan.

Peningkatan attention span di atas tidak hanya berdampak positif bagi pekerjaan saya saja. Dampak positif yang sama juga saya rasakan di tengah-tengah keluarga saya. Dengan membiasakan diri untuk tidak terlalu sering mengakses situs jejaring sosial, situs berita, dan Internet pada umumnya, saya pun membuka potensi meningkatkan quality time bersama istri dan anak saya. Dapat dikatakan bahwa saya berhasil menjauhkan yang jauh seraya mendekatkan yang dekat karena perhatian yang saya berikan kepada istri dan anak-anak pun meningkat.
... menjauhkan yang jauh seraya mendekatkan yang dekat...
It's a work in progress, of course. Saya pernah secara eksplisit menegaskan kepada diri saya sendiri untuk menjauh dari situs jejaring sosial, tapi pada kenyataannya langkah saya tidak konsisten. Semangat saya untuk menjaga diri dari konsumsi informasi yang membanjiri hidup saya itu sering mengendur. Saya pun kembali terbawa derasnya arus informasi yang masuk ke dalam otak saya. Alhamdulillah saya masih menemukan motivasi yang baru untuk memulai kembali.

Itulah alasannya kenapa saya mengangkat isu mengenai komunitas yang membahas diet informasi ini. Diet informasi ini, seperti halnya diet makanan, butuh penguat, yaitu sebuah komunitas yang memiliki kesamaan tujuan untuk menyaring informasi trivial dari sekitarnya dan lebih fokus pada informasi yang faktual dan bermanfaat. Dengan begitu, seperti yang saya jelaskan di atas, setiap anggota komunitas dapat saling menjaga dan menguatkan satu sama lain.

Sebenarnya saya yakin ada banyak orang yang peduli dengan kuantitas dan kualitas informasi yang masuk ke dalam otak mereka. Bahkan tidak sedikit orang-orang di dekat saya yang seperti ini. Orang-orang ini memiliki lebih banyak waktu untuk mengurus urusannya sendiri ketimbang menghabiskan waktu menelusuri Internet pada umumnya atau timeline jejaring sosial pada khususnya. Produktif atau tidaknya orang-orang seperti ini tentu saja lain soal. Semua tergantung pada urusan yang diurus oleh masing-masing individu.

Orang-orang yang saya maksud di atas itu sudah melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencapai hal tersebut. Ada yang sudah membatasi akses ke situs jejaring sosial, bahkan ada yang memutuskan untuk tidak bergabung dengan situs jejaring sosial mana pun. Ada yang membatasi waktu mengakses situs berita, ada yang mengatur perilaku mengakses forum-forum online, dan berbagai cara lain. Sayangnya masing-masing orang masih memilih untuk melakukannya secara pribadi.

Terlepas dari itu, perbaikan memang perlu dimulai dari diri sendiri. Ada komunitas ataupun tidak, saya tetap melangkah maju untuk mengelola kuantitas dan kualitas informasi yang saya konsumsi. Dengan berbagai dampak positif yang sudah saya paparkan di atas (dan dalam tulisan-tulisan saya sebelum ini), saya menganggap diet informasi ini sebagai sesuatu yang penting. Sudah waktunya bagi saya untuk lebih peduli dengan arus informasi di sekitar saya. Bagaimana dengan Anda?

--
Tulisan terkait: Timeline Management http://alfanaini.blogspot.com/2012/05/timeline-management.html