Selasa, 22 November 2011

Meningkatkan Kinerja PNS

Sudah bukan rahasia lagi kalau PNS (Pegawai Negeri Sipil) itu identik dengan kemalasan. Citra PNS pada umumnya jauh dari sifat profesional. PNS seringkali dicap orang sebagai pemakan gaji buta, yaitu para pekerja yang hanya datang ke kantor untuk absen tanpa ada pekerjaan yang jelas. Para PNS pada umumnya digambarkan sebagai orang-orang yang datang ke kantor untuk duduk santai dan menyerahkan sebagian besar pekerjaannya (kalau tidak semuanya) kepada tenaga honorer atau vendor.

Terlepas dari benar atau tidaknya persepsi di atas, peningkatan kinerja PNS tetap harus dilakukan. Dengan kinerja PNS yang baik, kinerja instansi pemerintah secara umum pun akan baik. Persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh instansi pemerintah pun akan baik. Apresiasi masyarakat terhadap PNS akan meningkat dan PNS (beserta instansi pemerintah) tidak lagi dipandang sebelah mata.

Peningkatan kinerja PNS adalah pekerjaan besar, lama, dan berkesinambungan. Tidak mungkin peningkatan kinerja PNS itu selesai dibahas dalam sebuah blog post. Yang ingin saya tuangkan di sini hanya uraian kasar berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi saya setelah hampir 3 (tiga) tahun bekerja sebagai PNS. Beberapa poin yang saya rasa perlu diperbaiki untuk meningkatkan kinerja PNS adalah sebagai berikut:
  1. Remunerasi.
    Untuk mengharapkan seseorang berkomitmen dengan pekerjaannya, balas jasa (gaji) yang cukup dan sesuai dengan beban kerja adalah mutlak. Dengan gaji yang pas-pasan saja, orang akan berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan di luar jam kantor. Kalau sampai gaji yang diterima itu kurang (tidak mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan), maka kita tidak perlu heran kalau pekerjaan utama justru di balik menjadi pekerjaan sampingan. Jam kerja pun dimanfaatkan untuk mencari penghasilan di tempat lain. Oleh karena itu, remunerasi merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan kinerja PNS di setiap instansi pemerintah.
  2. Uraian Jabatan.
    Uraian jabatan ini pada hakikatnya menentukan tujuan pekerjaan masing-masing pegawai. Uraian jabatan pun menentukan kompetensi pegawai yang terkait, alur proses pekerjaan, waktu penyelesaian pekerjaan, dan lain-lain. Dengan uraian jabatan yang jelas, tanggung jawab masing-masing pegawai dan hasil dari setiap pekerjaan pun akan menjadi jelas. Untuk mencapai kondisi ini, uraian jabatan yang dibuat sebaiknya dibuat secara sederhana, praktis, mudah dimengerti, mudah diukur, dan bukan sekedar formalitas biasa (yang hanya dibuat untuk diarsipkan).
  3. Kompetensi Pegawai.
    Peningkatan kinerja PNS tentu tidak lepas dari SDM (Sumber Daya Manusia) PNS itu sendiri. Saat uraian jabatan sudah diuraikan dengan baik, kompetensi pegawai harus disesuaikan dengan tanggung jawab yang tertuang di dalam uraian jabatan tersebut. Pemilihan CPNS saat rekrutmen menjadi krusial untuk mempekerjakan orang-orang yang kompeten. Pemilihan pelatihan yang tepat guna pun menjadi krusial untuk meningkatkan kompetensi pegawai yang bersangkutan.
  4. Penempatan.
    Penempatan pegawai pun menjadi poin yang penting dalam meningkatkan kinerja PNS. Penempatan PNS pada awalnya mungkin berorientasi pada kompetensi pegawai pada jabatan yang dipegangnya. Sayangnya semua itu bisa sirna begitu saja saat terjadi mutasi. Tidak jarang mutasi itu justru mengganti pegawai yang kompeten dengan yang tidak kompeten. Oleh karena itu, penempatan (dan mutasi) pegawai pun harus turut diperhatikan dalam konteks menjaga atau meningkatkan kinerja PNS di setiap instansi pemerintah.
Uraian yang saya paparkan memang sengaja saya buat ringkas. Saya yakin, jangankan untuk keseluruhan proses untuk meningkatkan kinerja PNS, untuk masing-masing poin yang saya utarakan di atas itu dibutuhkan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya. Poin-poin di atas hanyalah gambaran kasar (dan merupakan pandangan pribadi) yang jauh dari komprehensif.

Saya yakin ada banyak PNS yang kompeten di tubuh masing-masing instansi pemerintah kita. Sayangnya penghasilan yang mereka dapatkan terlalu sedikit. Akhirnya banyak PNS yang memutuskan untuk melakukan pekerjaan sampingan. Untung bila PNS-PNS ini melakukan pekerjaan sampingan yang halal. Yang menjadi masalah adalah bila pekerjaan sampingan yang dilakukan itu masuk ke dalam ranah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Belum lagi timpangnya beban kerja akibat job description yang tidak jelas. Pengukuran kinerja tidak jelas, sistem reward dan punishment pun tidak jelas, sehingga kerja atau tidak kerja pun seolah-olah sama saja. Yang terlihat rajin diberdayakan sampai titik darah penghabisan. Yang tidak terlihat sama sekali dibiarkan begitu saja.

Masih banyak sisi lain yang dapat diekspos dari budaya kerja PNS yang negatif. Dari hasil ekspos itu pun masih banyak lagi langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja PNS di negara Indonesia ini. Yang paling penting saat ini mungkin bukan pada langkah-langkahnya, tapi pada kemauan besar para pemimpin di negara ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di setiap intansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Kamis, 22 September 2011

Over Expectation/Under Utilization (2)

Sambungan dari: http://alfanaini.blogspot.com/2011/09/over-expectationunder-utilization.html

Under Utilization
Under utilization terjadi saat hasil implementasi suatu teknologi itu tidak digunakan secara maksimal atau bahkan mendekati minimal. Contoh under utilization ini tidak sedikit dan meliputi banyak hal mulai dari hardware sampai software. Contohnya antara lain menggunakan komputer dengan spesifikasi terbaik di kelasnya hanya untuk menggunakan aplikasi Microsoft Office, menggunakan Microsoft Excel hanya untuk menggantikan fungsi kalkulator, atau menggunakan Microsoft Word seperti menggunakan mesin ketik biasa.

Penyebab terjadinya under utilization ini pada umumnya adalah kekurangan informasi atau lebih tepatnya kekurangan edukasi. Para pengguna umumnya tidak tahu cara menggunakan teknologi yang ada di hadapan mereka secara maksimal. Cara mengatasinya tentu saja dengan memberikan akses yang baik terhadap informasi terkait. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan referensi untuk dipelajari sendiri atau memberikan pelatihan yang relevan kepada para pengguna tersebut.

Masalahnya menjadi lebih rumit kalau penyebabnya bukan lagi karena tidak tahu, tapi lebih cenderung karena tidak mau tahu. Mungkin saja implementasi teknologi yang dilakukan itu terlalu sulit dimengerti, sehingga sarana edukasi yang diberikan pun tidak terlalu berarti. Daripada harus membiarkan pekerjaan menumpuk, para pengguna pun beralih ke cara yang lama. Akhirnya hasil implementasi TI yang terbaru tidak akan digunakan. Kalau pun digunakan, para pengguna itu kemungkinan akan menggunakan bagian-bagian tertentu saja.

Penyebab lain terjadinya under utilization adalah kekecewaan. Kalau kita bicara kekecewaan, maka under utilization ini dapat kita kaitkan dengan over expectation. Sebelumnya saya sudah menulis mengenai over expectation dengan sebuah contoh kasus, yaitu bagaimana pimpinan perusahaan Y memiliki harapan yang terlalu tinggi pada implementasi Gemilang yang ditawarkan perusahaan Z. Kekecewaan para pimpinan perusahaan Y ini kemungkinan besar akan menyebabkan under utilization pada hasil implementasi Gemilang. Alih-alih memberikan perintah untuk menggunakan Gemilang dengan optimal, pimpinan perusahaan Y justru beralih untuk mencari solusi lain untuk menggantikan Gemilang.

Kesimpulan
Dari paparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa over expectation dan under utilization ini akan mengakibatkan hasil implementasi TI menjadi tidak optimal. Bahkan dapat kita katakan bahwa kedua masalah tersebut membuat hasil implementasi TI terlihat tidak efektif dan tidak efisien. Oleh karena itu, akan lebih baik bila masalah over expectation dan under utilization itu dicegah sejak dini.

Hal yang paling utama untuk diperhatikan dalam mengatasi kedua masalah tersebut adalah edukasi. Dengan pelatihan (pendidikan) yang memadai mengenai perkembangan TI (dan apa saja yang mampu dilakukan oleh TI), over expectation dapat ditekan seminimal mungkin. Akan lebih baik lagi kalau ketimpangan informasi saat merencanakan implementasi TI pun ikut dicegah.

Under utilization pun dicegah dengan edukasi yang memadai. Bila pengetahuan yang memadai, masalah "tidak tahu" akan lebih mudah ditekan. Hanya saja kita membutuhkan usaha yang lebih besar untuk mengatasi masalah "tidak mau tahu". Hal ini disebabkan karena asalah "tidak mau tahu" ini butuh lebih dari sekedar tambahan pengetahuan, tapi juga tambahan motivasi (urgensi) untuk merubah kebiasaan.

Jumat, 16 September 2011

Over Expectation/Under Utilization

Dua masalah yang kerap dihadapi dalam implementasi TI (Teknologi Informasi) adalah over expectation dan under utilization. Over expectation adalah kondisi saat harapan yang muncul saat hendak mengimplementasikan TI itu jauh lebih tinggi dari hasil akhir implementasi yang dapat (memungkinkan) untuk dilakukan. Sementara under utilization adalah kondisi saat hasil akhir implementasi TI itu tidak dimanfaatkan (digunakan) secara maksimal. Kedua masalah ini dapat mengakibatkan implementasi TI tidak optimal atau bahkan gagal total.

Over Expectation
Penyebab munculnya over expectation yang sering saya temukan secara umum berputar pada ketimpangan informasi. Penyebab ketimpangan informasi ini antara lain karena pencarian informasi yang tidak berimbang, pengaruh marketing campaign yang dahsyat, atau kecenderungan terhadap produk dengan merk-merk tertentu. Ketimpangan informasi ini yang menyebabkan para pengguna (atau calon pengguna) memiliki harapan yang berlebihan pada TI. Saat implementasi TI selesai dilakukan, mereka pun kecewa karena hasil implementasi TI itu tidak sesuai dengan keinginan (dan juga kebutuhan) mereka.

Contohnya seperti ini. Misalkan tim marketing dari perusahaan Z mempresentasikan solusi TI kepada pimpinan perusahaan Y. Kita umpamakan solusi TI yang ditawarkan itu bernama Gemilang. Dalam presentasi itu tentu saja yang dikedepankan adalah kelebihan-kelebihan dari Gemilang. Yang diperlihatkan pada pimpinan perusahaan Y tentu saja hal-hal positif yang dapat diperoleh dengan mengimplementasikan Gemilang di perusahaan Y.

Dari presentasi di atas berlanjut dengan POC (Proof of Concept). Di sini, tim dari perusahaan Z akan datang kembali ke perusahaan Y untuk memperlihatkan simulasi teknis implementasi Gemilang. Dengan environment yang kondusif, simulasi teknis Gemilang ini berjalan lancar. Kita asumsikan saja pimpinan perusahaan Y benar-benar terkesan dengan simulasi teknis ini. Pada titik ini, kecenderungan pimpinan perusahaan Y untuk menggunakan Gemilang sudah semakin besar. Apalagi Gemilang ini merupakan produk yang dikembangkan oleh perusahaan A2Z (baca: A to Z, A sampai Z). Perusahaan Z hanya bertindak sebagai reseller. Berhubung perusahaan Y menggunakan banyak produk perusahaan A2Z, maka tingkat kepercayaan perusahaan Y kepada Gemilang pun meningkat.

Kecenderungan perusahaan Y kepada Gemilang akan semakin bertambah besar bila tim dari perusahaan Y pun tidak dapat mengimbangi gelombang informasi di atas dengan informasi yang lebih objektif dan berimbang. Kalau tim dari perusahaan Y sendiri tidak dapat menilai Gemilang secara objektif, maka ketimpangan informasi yang sudah terjadi pun akan bertambah jomplang. Kita asumsikan contoh di atas berlanjut dengan kondisi seperti ini. Kita asumsikan pula bahwa perusahaan Y pun akhirnya memutuskan untuk menggunakan Gemilang.

Pada akhirnya, tidak berapa lama setelah Gemilang digunakan, berbagai keluhan pun muncul. Berbagai kebutuhan yang seharusnya diakomodir oleh Gemilang tidak berjalan sesuai harapan. Berbagai kelebihan-kelebihan Gemilang yang ditonjolkan oleh perusahaan Z ternyata tidak tepat guna. Kendala-kendala lain pun bermunculan sehingga berbagai harapan yang diletakkan pada Gemilang pun kandas di tengah jalan. Kondisi implementasi Gemilang pun seperti pepatah jauh panggang dari api.

Harapan yang muncul di benak pimpinan perusahaan Y terlalu tinggi; jauh lebih tinggi dari apa yang dapat dicapai Gemilang saat diimplementasikan di perusahaan Y. Inilah yang saya maksud dengan over expectation. Ketimpangan informasi telah membuat pimpinan perusahaan Y berharap terlalu banyak kepada Gemilang.

Memang benar kalau ketimpangan informasi bukan satu-satunya penyebab over expectation. Dari contoh di atas saja kita dapat temukan beberapa penyebab lain. Akan tetapi, saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai penyebab over expectation ini. Yang terpenting adalah kita sudah mendapat gambaran mengenai over expectation ini.

Under Utilization
Lalu bagaimana dengan under utilization? Akan saya lanjutkan pada tulisan berikutnya.

Minggu, 31 Juli 2011

Saat Kaskus Diblokir

Kebebasan berekspresi di Internet itu pada dasarnya diakui untuk semua orang. Kita diperbolehkan menggunakan berbagai media di Internet untuk mengekspresikan isi pikiran kita. Kita diperbolehkan mengeluarkan pendapat sesuka kita seperti di forum-forum daring (online), di blog pribadi masing-masing, di blog orang lain, di Facebook, di Twitter, atau berbagai situs lain di Internet. Kita pun bebas mengakses informasi apa pun dari mana pun di Internet. Tidak ada batasan apa pun yang diberlakukan di Internet. Inilah kondisi ideal kebebasan berekspresi di Internet.

Akan tetapi, kondisi ideal tersebut harus disertai rasa tanggung jawab dari setiap pengguna Internet. Setiap pengguna Internet harus bertanggung jawab terhadap setiap ekspresi yang dituangkannya di Internet. Setiap pengguna Internet harus bertanggung jawab terhadap setiap informasi yang disebarkannya lewat Internet. Dengan begitu, setiap pengguna Internet pun akan mendapatkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Inilah kondisi ideal yang hakiki akan kebebasan berekspresi di Internet.

Mungkinkah kita mencapai kondisi ideal yang hakiki itu? Mungkin saja. Hanya saja mencapai kondisi ideal yang hakiki itu rasanya sulit. Mengapa? Karena menumbuhkan rasa tanggung jawab di setiap pribadi pengguna Internet bukanlah hal yang mudah. Manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat seenak hatinya. Jadi, wajar saja kalau menumbuhkan rasa tanggung jawab itu tidak mudah.

Mulai dari pribadi-pribadi dengan pikiran yang belum matang (umumnya remaja) sampai pribadi-pribadi dewasa yang memiliki masalah pribadi, jumlah pengguna Internet yang ingin berekspresi seenak hatinya itu tidak sedikit. Didorong dengan kenyataan bahwa identitas itu dapat disembunyikan dengan mudah di Internet, jumlah pengguna Internet yang ingin bebas berekspresi tanpa batas sama sekali itu sangat banyak.

Kita pun sampai pada judul tulisan ini: Saat Kaskus Diblokir. Saat urusan internal instansi dibeberkan di Kaskus, yaitu sebuah forum daring yang dapat diakses oleh siapa saja, pengelola jaringan (kemungkinan atas perintah atasan yang berwenang) akhirnya menutup akses ke Kaskus. Apakah masalahnya terpecahkan? Kemungkinan besar tidak. Alternatif jalur untuk mengakses Kaskus itu tidak sedikit. Dengan menggunakan modem wireless, misalnya, akses ke Kaskus tetap terbuka lebar.

Menelusuri identitas oknum terkait pun bukan hal yang mudah. Kaskus mungkin terikat dengan komitmen untuk menutup akses terhadap identitas penggunanya seperti alamat email atau informasi lainnya. Kalau oknum terkait cukup cerdas untuk menutupi jejaknya, dia bisa saja membuat username baru (yang didaftarkan dengan alamat email yang juga baru dibuat) demi kepentingan membeberkan urusan internal instansi tersebut.

Walaupun begitu, pihak yang berwenang akhirnya memilih untuk membatasi kebebasan pegawai di instansi terkait untuk mengakses Kaskus. Membatasi akses ke Kaskus mungkin saja mempersulit banyak orang. Ada banyak informasi (asalkan kita mahir memilah) yang dapat diperoleh dari Kaskus. Apakah aksi blokir Kaskus ini salah? Pertanyaan ini selayaknya ditujukan pada oknum yang memicu blokir tersebut.

Seperti contoh blokir Kaskus di atas, saya yakin tidak sedikit urusan blokir akses ke situs-situs tertentu itu dipicu oleh kasus penyalahgunaan dari pengguna Internet sendiri. Blokir-blokir itu bermunculan karena para pengguna Internet tidak menggunakan fasilitas dan media yang tersedia di Internet dengan bijaksana. Akibat dari penggunaan Internet yang tidak bertanggung jawab itulah blokir-blokir situs itu terjadi.

Terlepas dari benar atau salahnya contoh kasus di atas, ada satu pelajaran yang dapat kita ambil. Bahwasanya penyebab dikekangnya kebebasan berekspresi dan mengakses informasi dari Internet itu juga disebabkan karena para pengguna Internet seringkali tidak bertanggung jawab. Kalau saja oknum pada contoh di atas tidak ceroboh dan membeberkan urusan internal instansi di Kaskus, urusan blokir Kaskus kemungkinan besar tidak akan muncul ke permukaan.

Blokir Kaskus di atas memang hanya contoh kecil dari kekangan terhadap kebebasan berekspresi. Masih banyak contoh-contoh kekangan lain yang dihadapi oleh pengguna Internet. Kadang alasan kekangan itu dapat diterima, namun saya justru lebih sering mendengar kritik-kritik pedas bin tajam terhadap kekangan ini. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang ingin dibelenggu oleh pihak mana pun. Apalagi di dunia Internet yang jauh lebih bebas, pengguna Internet sudah pasti tidak ingin kebebasan berekspresi mereka ditekan.

Yang terjadi adalah konflik kepentingan. Para pengguna Internet ingin dibebaskan berbagi informasi dan mengeluarkan pendapat di Internet. Akan tetapi, banyak pihak yang merasa kenyamanan dan keamanan mereka terganggu dengan informasi dan pendapat tersebut. Pencemaran nama baik adalah salah satu kepentingan yang paling sering berbenturan dengan kebebasan berekspresi ini. Tidak sedikit pihak yang merasa khawatir produk yang mereka jual, usaha yang mereka jalankan, atau diri mereka sendiri dicoreng nama baiknya oleh ekspresi tidak bertanggung jawab dari para pengguna Internet.

Saya pernah mendengar kabar bahwa seorang blogger akhirnya memutuskan untuk mencabut salah satu post yang sudah dia publikasikan karena ada permintaan secara langsung dari pihak yang merasa dirugikan dengan adanya post tersebut. Saya sendiri pernah menurunkan salah satu post di blog saya karena alasan yang serupa tapi tak sama. Saat itu ada seseorang yang memberikan komentar berupa himbauan agar post saya itu diturunkan karena dikhawatirkan akan memiliki dampak yang tidak sehat. Setelah saya pertimbangkan, saya pun memutuskan untuk menurunkan post itu.

Dua contoh di atas hanya contoh kecil akan konflik kepentingan. Pihak yang satu ingin menyampaikan informasi yang benar sebanyak mungkin, sementara pihak yang lain ingin agar informasi tersebut tidak disebarluaskan. Ada kalanya konflik kepentingan ini ditanggapi dengan (terlalu?) serius sampai akhirnya dibawa ke meja hijau seperti halnya kasus Prita Mulyasari. Masih banyak contoh-contoh konflik kepentingan lain yang terkait dengan kebebasan berekspresi di Internet.

Ketertiban dan keamanan pun kadang berada di sisi yang berlawanan dengan kebebasan berekspresi. Tengok saja demonstrasi yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Demonstrasi-demonstrasi itu merupakan implementasi kebebasan berekspresi yang diwujudkan dalam dunia nyata. Yang ditantang lewat demonstrasi itu pun tidak tanggung-tanggung, yaitu para pemimpin yang berkuasa saat itu. Tidak heran bila pemimpin-pemimpin di negara lain yang belum digoncang demonstrasi memilih untuk melakukan antisipasi dengan "membunuh" pendapat-pendapat yang berpotensi menggoyang pemerintahan. Para pemimpin ini melakukan pengekangan itu karena mereka tidak ingin ada keributan di negara mereka.

Terlihat jelas bahwa konflik kepentingan dalam konteks kebebasan berekspresi itu tidak hanya berskala kecil, yaitu hanya melibatkan beberapa pihak saja. Seperti halnya demonstrasi di negara-negara Timur Tengah itu, kebebasan berekspresi di Internet mampu menggulingkan sebuah rezim pemerintahan dan bahkan mempengaruhi rakyat di negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama. Pihak-pihak yang terlibat di sini tentu saja bukan sembarang pihak. Skala dari konflik kepentingan yang terjadi pun sampai ke skala internasional.

Kebebasan berekspresi akan selalu berada di posisi yang senantiasa ditarik dan diulur. Setiap insan mengakui keberadaan hak ini dan berharap bahwa hak kebebasan berekspresi ini akan dilindungi oleh pihak yang berwenang. Semua orang ingin diberikan kebebasan untuk mengekspresikan isi pikirannya dan menyatakan pendapatnya di Internet. Akan tetapi, kebebasan ini langsung dikritik atau bahkan dibungkam bila dianggap merugikan pihak-pihak tertentu. Ironisnya adalah pihak yang membungkam itu mungkin saja merupakan pihak yang sama yang menginginkan kebebasan berekspresinya sendiri dipertahankan. Begitulah kondisi kebebasan berekspresi di dunia ini: kadang dikekang, kadang dilepas bebas.

Semakin jelas bahwa kebebasan berekspresi yang ideal itu sulit dicapai; apalagi kondisi ideal yang hakiki. Bukan hanya sulit untuk membangun kesadaran pengguna Internet untuk bertanggung jawab dalam setiap ekspresi dan informasi yang dituangkan di Internet, tapi juga sulit karena terbentur oleh kepentingan berbagai pihak. Yang paling mungkin untuk dilakukan adalah membangun kesadaran untuk berekspresi dengan penuh tanggung jawab. Tentunya hal ini dimulai dari pribadi masing-masing pengguna Internet; termasuk saya sendiri.

Untuk masalah kepentingan yang berbenturan dengan kebebasan berekspresi di atas, kita bisa mulai dengan lebih berhati-hati saat menyebarkan informasi di Internet. Apabila kita menjadi pihak yang merasa dirugikan dengan informasi yang disebarkan di Internet, kita harus punya alasan yang baik untuk berkelit. Satu hal yang pasti, menyikapi berita miring dengan bijaksana itu lebih terhormat ketimbang membabi buta membungkam mulut para penyebar berita. Dengan bersikap bijaksana, baik sebagai pihak yang menyebar informasi, pihak yang menerima informasi, atau pihak yang terkait dalam informasi yang disebarkan, kebebasan berekspresi dapat diterapkan secara optimal tanpa harus menabrak kepentingan pihak manapun.

Selamat berekspresi dan berbagi informasi di Internet!

Senin, 25 Juli 2011

Bebas Berekspresi di Internet

Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Hak ini setara dengan hak untuk mendapatkan informasi yang benar. Dalam kondisi apa pun, kedua hak ini sudah sepantasnya melekat pada diri setiap manusia yang hidup di dunia ini. Saya sebut "yang hidup" karena kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sudah tidak lagi relevan bagi mereka yang tidak lagi hidup.

Dengan adanya kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi yang benar dapat dilaksanakan dengan optimal. Bila setiap orang memiliki kebebasan berekspresi, maka setiap informasi yang datang dapat diuji kebenarannya. Dengan bentuk pengujian kebenaran "tanpa batas" seperti ini, informasi yang tersebar akan terjamin kebenarannya. Saya sebut "tanpa batas" karena setiap orang dapat mempertanyakan setiap informasi tanpa batasan moral, norma, aturan, atau batasan-batasan sejenis lainnya.

Informasi yang telah diuji kebenarannya seperti di atas akan mencapai derajat kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran yang bebas dari pengaruh pihak-pihak tertentu. Kebenaran yang hakiki ini menjamin kebenaran informasi tanpa ada kecenderungan mengedepankan kepentingan pihak mana pun. Hal ini dikarenakan setiap orang dapat mempertanyakan atau bahkan membantah setiap informasi yang beredar dengan informasi yang dimilikinya.

Informasi yang benar ini diperlukan untuk meningkatkan potensi masyarakat untuk maju dan berkembang. Bila kebenaran informasi itu dikendalikan oleh pihak tertentu, maka potensi masyarakat untuk maju dan berkembang pun dikendalikan oleh pihak yang sama. Bila kebenaran yang hakiki tidak tercapai, maka potensi masyarakat untuk maju dan berkembang itu tidak akan pernah maksimal. Hal ini memperkuat dasar akan pentingnya kebebasan berekspresi dalam masyarakat.

Bila sistem pengelolaan informasi yang diterapkan adalah sistem yang bersifat represif, maka dapat dipastikan sistem ini akan menekan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Dengan menekan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat ini, penyampaian informasi dan pengungkapan kebenaran juga dipastikan akan terhambat. Terhambatnya penyampaian informasi dan pengungkapan kebenaran ini pada akhirnya akan menghambat proses pembangunan dan reformasi dalam masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung.

Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat ini memiliki peran penting dalam demokrasi. Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat ini memungkinkan setiap warga negara berperan aktif dalam pengambilan keputusan; terutama yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Sulit membayangkan demokrasi akan berjalan sebagaimana mestinya bila tidak ada jaminan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat bagi setiap warga negara.

Mulai dari kebenaran yang hakiki, potensi masyarakat untuk maju dan berkembang, proses pembangunan dan reformasi, sampai bergulirnya roda demokrasi, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat bagi setiap orang (warga negara) merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pemerintah melindungi hak untuk bebas berekspresi ini. Itu pun kalau pemerintah kita berkenan membiarkan masyarakatnya tumbuh dan berkembang secara optimal. Pertanyaannya adalah sudahkah pemerintah Indonesia melindungi kebebasan berekspresi kita?

Di dunia internasional, hak akan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat ini tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948. Pasal 19 UDHR ini berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).[1]
Sejalan dengan UDHR, di Indonesia pun hak akan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat ini dilindungi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu dalam pasal 28E ayat 3 dan pasal 28F. Jadi, aturan paling dasar di negara Indonesia pun sudah menjamin kebebasan setiap warga negara Indonesia (baca: kita semua) untuk bebas berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan mendapatkan informasi yang benar menggunakan berbagai jenis media yang ada, termasuk Internet.

Internet adalah media dengan jangkauan paling luas bila dibandingkan dengan media-media lain. Internet dapat diakses dengan modal handphone (tidak perlu smartphone) yang terhubung ke jaringan telekomunikasi, baik GSM maupun CDMA. Dengan luasnya cakupan jaringan telekomunikasi saat ini, dapat kita katakan bahwa setiap orang dapat mengakses Internet dari mana saja; entah itu di bagian timur Indonesia, barat Indonesia, atau luar Indonesia sekalipun.

Tidak hanya jangkauan yang luas yang menjadi kelebihan Internet. Kecepatan penyampaian informasi lewat media Internet pun tidak dapat ditandingi oleh media lain. Seseorang di timur Indonesia dapat mengirim informasi yang langsung dapat dibaca oleh orang lain di barat Indonesia dalam hitungan detik. Informasinya pun tidak terbatas bersifat one-to-one, tapi justru bersifat one-to-the-whole-world. Tidak ada satu media pun yang dapat menandingi kecepatan penyebaran informasi di Internet.

Potensi Internet sebagai media untuk berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan menyebarkan informasi itu sangat besar. Bila kita mengacu pada paparan ngalor-ngidul di awal tulisan ini, kita dapat langsung simpulkan bahwa kebenaran yang hakiki, potensi masyarakat untuk maju dan berkembang, pembangunan dan reformasi, sampai bergulirnya roda demokrasi akan menjadi optimal dengan memanfaatkan media Internet secara maksimal.

Sebelum kita bicara lebih jauh mengenai kebebasan berekspresi di Internet, mari kita tengok beberapa contoh pemanfaatan media Internet yang diliput di dalam film linimas(s)a. Contoh pertama dalam film tersebut adalah Blood for Life Indonesia. Konsep Blood for Life Indonesia ini sebenarnya sederhana, yaitu didasari dengan keinginan untuk membantu menyebarkan informasi kebutuhan donasi darah seluas mungkin. Walaupun begitu, dampak gerakan ini luar biasa karena memungkinkan penyebaran informasi kebutuhan donasi darah yang sebelumnya sulit (atau bahkan tidak mungkin) dilakukan tanpa media Internet.

Kasus Prita Mulyasari adalah contoh lain pemanfaatan media Internet yang diliput di dalam film linimas(s)a. Prita Mulyasari berhasil lolos dari cengkraman pasal karet pencemaran nama baik karena mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan masyarakat. Media apa yang memiliki andil paling besar dalam menggalang dukungan ini? Internet. Informasi mengenai kasus Prita Mulyasari ini tersebar dengan cepat lewat Internet sampai akhirnya kasus ini diangkat ke media cetak dan elektronik. Semua dukungan yang akhirnya datang ke Prita Mulyasari itu diawali dari Internet.

Kasus Prita Mulyasari ini adalah contoh nyata pentingnya kebebasan berekspresi seperti yang dipaparkan di atas. Kebenaran informasi terkait dengan kasus Prita Mulyasari tidak seenaknya dapat dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu, misalnya pihak rumah sakit yang menuntut. Dengan aliran informasi yang bebas di Internet, setiap orang memiliki sumber lain untuk menguji kebenaran setiap informasi yang beredar.

Informasi yang menjatuhkan Prita Mulyasari dapat dibantah dengan informasi yang mendukung Prita Mulyasari. Kita pun tidak lagi terpaku pada informasi di televisi dan koran saja. Kita bahkan dapat memperoleh informasi yang benar mengenai kasus Prita Mulyasari lewat teman-teman kita sendiri. Pengujian kebenaran demi mencapai kebenaran yang hakiki seperti ini akhirnya menjadi mungkin untuk dicapai dengan dijaminnya kebebasan berekspresi di Internet.

Seandainya pemerintah (atau pihak mana pun) membelenggu kebebasan berekspresi di Internet, kita dapat bayangkan kenyataan menyedihkan yang menanti Prita Mulyasari. Bila Prita Mulyasari berhasil dibungkam tanpa perlawanan, maka setiap orang yang berbagi informasi di Internet berpotensi mengalami nasib yang sama dengan Prita Mulyasari. Setiap orang akan sungkan berbagi informasi di Internet, terutama yang memiliki kesan negatif. Tidak ada yang ingin diseret ke meja hijau seperti halnya Prita Mulyasari.

Kebebasan berekspresi di Internet merupakan hak asasi pengguna Internet yang tidak dapat diganggu gugat. Satu-satunya alasan yang dapat membenarkan pembatasan akan hak kebebasan berekspresi di Internet adalah bila kebebasan berekspresi ini disalahgunakan untuk melanggar hak asasi yang lain. Misalnya kita menggunakan Twitter (http://twitter.com/) untuk membentuk opini yang bersifat rasis. Dukungan untuk pembentukan opini ini berkembang sedemikian rupa sampai terbentuk opini negatif yang umum terhadap salah satu ras di Indonesia. Hal ini jelas melanggar hak seseorang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif. Dalam hal ini, kebebasan berekspresi harus dibatasi.

Contoh lain penyalahgunaan kebebasan berekspresi ini tidak sedikit. Masih banyak orang-orang yang menganggap diri mereka memiliki kebebasan mutlak untuk mengekspresikan apa pun, baik hal-hal yang positif maupun yang negatif. Oleh karena itu, sudah selayaknya dibuat peraturan-peraturan yang tegas agar kebebasan berekspresi ini tidak sampai berbenturan dengan hak-hak orang lain. Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan peraturan seperti ini adalah jangan sampai bersifat kontraproduktif dan disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi itu sendiri seperti halnya pasal karet tentang pencemaran nama baik.


Terlepas dari ada atau tidaknya aturan yang "mengekang" kebebasan berekspresi di Internet, kita pun selayaknya memiliki rasa tanggung jawab saat menyebarkan informasi apa pun lewat Internet. Jangan sebarkan informasi palsu. Informasi yang palsu, walaupun penting dan bermanfaat, tetap saja tidak layak untuk disebarkan.

Jangan pula kita sebarkan informasi negatif ke sembarang orang karena informasi yang negatif itu berpotensi menjatuhkan nama baik pihak-pihak terkait. Kalau memang layak disebarkan, pastikan hanya disebarkan ke pihak-pihak yang perlu mengetahui informasi tersebut. Mari jadikan Internet sebagai media komunikasi dan penyebaran informasi yang sehat dengan menjadi pribadi-pribadi yang bertanggung jawab terhadap setiap karakter yang kita unggah ke Internet.

--

Referensi
[1] Universal Declaration of Human Rights (versi Bahasa Indonesia), pasal 19. http://www.ohchr.org/en/udhr/pages/Language.aspx?LangID=inz; diakses tanggal 23 Juli 2011.

Kamis, 21 Juli 2011

Berekspresi di Internet: Bebas atau Terbatas?

Melompat sedikit dari topik open source dan birokrasi, kali ini saya mencoba untuk menulis post yang terkait dengan kebebasan berekspresi di Internet. Minat saya untuk menulis tentang kebebasan berekspresi ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Hanya saja banyak sekali alasan kendala yang muncul sehingga pikiran untuk menulis tentang kebebasan berekspresi di Internet ini pun tenggelam.

Kalau kita ingin bicara tentang kebebasan berekspresi di Internet, hal yang pertama harus kita tanyakan adalah apa urgensi dari kebebasan berekspresi di Internet. Bahkan kita perlu tanyakan lebih jauh lagi mengenai apa pentingnya Internet itu sendiri. Bukankah Internet itu isinya hanya orang-orang egosentris dan kurang kerjaan yang sibuk dengan status dirinya di dunia maya? Bukankah Internet itu tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan di dunia nyata?

Untuk mendapatkan pencerahan mengenai dampak positif (yang signifikan) di Internet, saya sarankan menonton film linimas(s)a. Linimas(s)a (http://linimassa.org/) adalah film dokumenter yang menggambarkan perkembangan pemanfaatan Internet di Indonesia. Fokus utama pemanfaatan Internet yang dimaksud adalah penggunaan situs-situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook dalam membuat perubahan sosial di dunia nyata. Cerita-cerita yang diliput dalam film linimas(s)a ini benar-benar memberikan inspirasi akan banyaknya hal-hal positif yang dapat dicapai lewat Internet.

Apa saja cerita yang ada di film itu? Cukup banyak; mulai dari skala kecil sampai skala besar. Misalnya kisah tentang seorang tukang becak yang berhasil go international lewat Facebook. Dia membuka komunikasi sampai ke luar negeri dan berhasil menggaet turis mancanegara untuk plesir ke Yogyakarta. Gerakan Blood For Life di http://bloodforlife.wordpress.com/ berhasil menjembatani orang-orang yang membutuhkan sumbangan darah dengan orang-orang yang berkenan menyumbangkan darah. Gerakan ini, baik langsung maupun tidak langsung, memiliki andil dalam menyelamatkan nyawa seseorang.

Masih banyak cerita menarik lainnya di film linimas(s)a ini. Silakan tonton sendiri. Film ini dapat ditonton tanpa biaya di Youtube. Tidak perlu repot ke bioskop atau membeli DVD bajakan film tersebut. Cukup mampir ke http://kalamkata.org/2011/02/20/linimassa-program-film-dokumenter/ dan klik tautan (link) Youtube yang tersedia di halaman tersebut. Film linimas(s)a ini dipecah menjadi 4 bagian di Youtube dan dapat diakses juga lewat playlist Youtube http://www.youtube.com/playlist?list=PL11846D738FE39A7D.

Kembali ke topik tulisan ini. Salah satu cerita yang juga ada di dalam film linimas(s)a adalah kasus Prita Mulyasari. Hanya saja fokus ceritanya bukan pada perjalanan kasus tersebut di persidangan. Fokus ceritanya lebih kepada gerakan sosial di situs-situs jejaring sosial dalam memberikan dukungan kepada Prita Mulyasari sebagai korban penindasan terhadap kebebasan berekspresi di Internet. Sebegitu besarnya dampak dari dukungan tersebut sampai berhasil mengumpulkan donasi sebanyak ratusan juta rupiah untuk denda yang harus dibayar Prita Mulyasari dalam wujud segambreng koin dengan berat total mencapai ribuan kilogram. Angka pasti jumlah denda dan berat kumpulan koin ini dapat Anda temukan di Google.

Kasus Prita Mulyasari memang merupakan kasus yang sangat masyhur dan kerap dijadikan contoh kondisi kebebasan berekspresi di Internet saat ini. Bukan hanya karena ramai dibicarakan di Internet, tapi juga karena mendapat sorotan yang luar biasa dari media cetak dan elektronik. Pro dan kontra terhadap kondisi Prita Mulyasari dapat dipastikan segera bermunculan. Pihak yang kontra mengatakan Prita Mulyasari memang bersalah mencemarkan nama baik rumah sakit tempat dia dirawat. Pihak yang pro (dan merupakan mayoritas) mendukung Prita Mulyasari dengan mengatakan bahwa reaksi rumah sakit tersebut itu berlebihan. Nama rumah sakit terkait dapat Anda temukan juga di Google.

Satu hal yang pasti, kasus Prita Mulyasari mengubah persepsi banyak orang mengenai kebebasan berbagi informasi dan berekspresi di Internet. Sebagian pengguna Internet sepertinya terpengaruh oleh kasus ini dan mulai ragu-ragu untuk berbagi informasi dan berekspresi di Internet. Siapa yang mau diseret ke pengadilan hanya karena berkeluh kesah di Internet? Tidak ada orang yang mau berurusan dengan meja hijau; apa pun alasannya.

Lebih lanjut, kekhawatiran ini pun tidak hanya sebatas media email sebagaimana dalam kasus Prita Mulyasari, tapi pada semua media komunikasi di Internet. Baik itu lewat situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter atau lewat forum-forum daring (online). Sebagian pengguna Internet memilih untuk lebih berhati-hati dalam berbagi informasi di Internet; terutama yang berpotensi dituding sebagai pencemaran nama baik.

Walaupun begitu, kelihatannya dampak dari kasus Prita Mulyasari ini sudah memudar (atau memang dari awal tidak pernah berdampak besar). Sepertinya para pengguna Internet tidak lagi merasa cemas untuk cuap-cuap seenak dengkulnya di berbagai situs Internet. Kicauan para pengguna Twitter, obrolan para pengguna Facebook, atau berbagai post di forum-forum daring sepertinya sama saja, baik sebelum maupun sesudah munculnya kasus Prita Mulyasari.

Sayangnya saya hanya dapat menggunakan kata "sepertinya" karena saya tidak memiliki data yang kuat untuk mendukung pernyataan saya. Pendapat saya di atas murni hasil pemantauan pribadi terhadap beberapa situs jejaring sosial dan forum Internet yang saya geluti sendiri. Harap maklum bila uraian dalam paragraf di atas sangat bias karena landasannya murni dari pengalaman sehari-hari saya sendiri.

Terlepas dari itu, saya masih berani mengatakan bahwa kita di Indonesia ini masih bebas berekspresi di Internet. Kita masih bebas mengeluhkan buruknya kualitas makanan di sebuah resto. Kita masih bebas mengeluhkan panjangnya antrian di sebuah bank. Kita masih bebas mengeluhkan buruknya birokrasi di berbagai instansi pemerintahan. Kita masih bebas mengeluarkan berbagai pendapat kita di Internet; entah itu pendapat baik atau pendapat buruk.

Yang disayangkan adalah kebebasan ini memiliki beberapa prasyarat. Prasyarat yang dimaksud antara lain menyembunyikan identitas asli kita atau menyembunyikan identitas pihak yang kita keluhkan. Kalau kita dapat memenuhi satu dari dua prasyarat tersebut, kebebasan berekspresi kita akan terjamin. Hanya saja kebebasan yang didapat dengan cara seperti ini justru kontraproduktif. Kenapa? Kalau kita menyembunyikan identitas asli kita, orang lain akan kesulitan menentukan valid atau tidaknya informasi yang kita sebarkan. Kondisi ini pun rentan disalahgunakan untuk menyebar informasi bohong (hoax).

Menyembunyikan identitas pihak yang kita keluhkan pun kontraproduktif. Kenapa? Apa artinya sebuah keluhan akan buruknya pelayanan suatu pihak bila tidak ada kejelasan mengenai pihak yang dimaksud. Buruknya layanan di resto ABC, panjangnya antrian di bank DEF, atau rumitnya birokrasi di kantor kecamatan GHIJ, pada dasarnya tidak memberikan informasi apa pun selain 10 huruf pertama dalam alfabet. Seperti itulah kondisi kebebasan berekspresi di Internet saat ini. Percayalah bahwa hal ini tidak terjadi di Indonesia saja. Negara-negara lain pun ada yang senasib dan sepenanggungan dalam hal kebebasan berekspresi ini.

Yang menjadi momok kebebasan berekspresi ini adalah perangkat hukum. Prita Mulyasari sendiri berhasil diseret ke meja hijau karena dijerat pasal-pasal yang terkait pencemaran nama baik. Perangkat hukum untuk menjegal kebebasan berekspresi seperti ini masih dalam keadaan sehat wal afiat. Jadi, seperti dalam kasus Prita Mulyasari, bila ada pihak yang mampu memanipulasi perangkat hukum ini untuk keuntungan mereka, maka para pengguna Internet yang akan kena getahnya. Indeed, those fingers are pointing at us. Kita yang akan kena getahnya, saudara-saudara.

Kita, para pengguna Internet, ibarat seorang orator yang sedang teriak-teriak di pinggir jurang. Kalau sampai ada orang lain yang punya modal yang cukup untuk lolos dari tuntutan hukum dan moral karena menendang mendorong kita ke dalam jurang, maka malaikat maut pun siap menjemput kita. Jadi, kita yang teriak-teriak di pinggir jurang itu benar-benar mengambil resiko yang besar. Sangat beruntung bila kita hidup dalam lingkungan masyarakat yang memilih untuk menyikapi orasi kita dengan bijaksana ketimbang mengambil jalan pintas dan membunuh kita.

Kebebasan kita ternyata dibatasi oleh aturan yang seringkali membuat kita memilih untuk tetap diam ketimbang berekspresi. Kebebasan yang kita miliki di Internet pun sifatnya terbatas. Ini sama artinya dengan tidak memiliki kebebasan sama sekali. Ibarat seekor anjing yang dibiarkan bebas berkeliaran di tanah lapang, tapi lehernya dikalungi ikat leher anti putus yang awet digunakan untuk selamanya. Sejauh-jauhnya anjing ini berlari, jarak tempuhnya tidak akan pernah lebih jauh dari panjang tali ikat leher itu ke pangkalnya. Sebuah konsep kebebasan yang semu.

Bebas atau terbatas? Lebih tepat kalau kita katakan "bebas terbatas". Kita bebas mengekspresikan apa pun isi pikiran kita di Internet asalkan kita senantiasa memperhatikan regulasi yang berlaku. Perilaku seperti ini yang perlu kita perhatikan saat menggunakan Internet. Apalagi hukum itu tidak mengenal alasan "tidak tahu". Sekali kita dijerat oleh satu (atau sekumpulan) pasal, alasan "tidak tahu" tidak akan pernah membuat kita lepas. Kita harus berinisiatif untuk berhati-hati saat berbagi informasi di Internet. Tentunya "hati-hati" di sini adalah sifat hati-hati yang tidak berlebihan. Jangan sampai berbagai regulasi tentang kebebasan berekspresi di Internet itu membuat kita paranoid.

Perhatikan isi informasi yang kita beberkan di Internet. Apakah ada yang berpotensi menjelek-jelekan pihak lain? Apakah ada yang berpotensi menjadi bumerang bagi kita? Perhatikan unsur identitas saat berbagi informasi itu. Apakah identitas kita layak disembunyikan? Apakah identitas pihak yang kita sebut di dalam informasi kita layak dibeberkan? Perhatikan kondisi media tempat kita berbagi informasi tersebut. Apakah akses ke tempat kita berbagi informasi itu bersifat umum atau terbatas? Kalau kita hanya menyebarkan informasi ke orang-orang tertentu saja, apakah kita yakin bahwa informasi itu tidak akan diteruskan ke ruang yang lebih luas?

Masih banyak hal yang perlu kita perhatikan saat kita berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berbagi informasi di Internet seperti yang saya paparkan di atas. Jangan berpikir polos dan menganggap bahwa setiap informasi yang kita beberkan di Internet itu tidak akan berbalik menyerang kita. Kalau hal ini sampai terjadi, mungkin saja kita akan mendapatkan dukungan seperti halnya Prita Mulyasari, tapi apakah kita mau mengalami apa yang dialami Prita Mulyasari? Tentu tidak.

Have fun surfing the Internet. Just don't let the waves drown you to death.

Sabtu, 16 Juli 2011

Edukasi Teknologi Informasi

Setiap implementasi teknologi informasi membutuhkan waktu pembelajaran yang cukup sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh penggunanya. Kebutuhan akan waktu pembelajaran ini adalah hal yang krusial karena setiap pengguna butuh waktu untuk beradaptasi terhadap perubahan yang dibawa oleh implementasi teknologi informasi yang baru. Entah itu perubahan standard operating procedures, perubahan budaya kerja, atau perubahan pola pikir dari setiap pengguna yang terlibat.

Contoh yang terbersit di benak saya adalah NgaturDuit.com. Situs tersebut menawarkan layanan pengelolaan keuangan pribadi yang cukup komprehensif. Selain fitur dasar seperti pencatatan pendapatan dan pengeluaran, NgaturDuit.com pun menawarkan fitur-fitur lain seperti konsultasi keuangan dan informasi instrumen investasi. Masih banyak lagi fitur lain dalam NgaturDuit.com, tapi semua itu tidak akan berarti tanpa ada edukasi yang cukup kepada para penggunanya.

Haruskah saya mencatat pendapatan saya? Haruskah saya mencatat pengeluaran saya? Apa manfaat dari mencatat pendapatan dan pengeluaran saya? Apa langkah selanjutnya setelah saya mencatat pendapatan dan pengeluaran saya? Dan banyak lagi pertanyaan lain yang harus dijawab oleh NgaturDuit.com agar orang-orang benar-benar memanfaatkan layanannya secara maksimal. Secanggih apa pun layanan NgaturDuit.com, tidak ada artinya kalau para penggunanya tidak menyadari pentingnya mengelola keuangan mereka.

Masalah edukasi ini pun saya rasakan sendiri. Sebagai seorang pengembang aplikasi, tanggung jawab edukasi untuk aplikasi yang saya kembangkan pun ada di pundak saya. Sesederhana apa pun aplikasi yang saya kembangan, seintuitif apa pun antar muka aplikasi yang saya kembangkan, fungsi edukasi itu tetap tidak hilang. Kalaupun aplikasi yang dikembangkan itu mudah untuk digunakan, belum tentu aplikasi itu benar-benar akan digunakan.

Aplikasi yang mudah digunakan belum tentu digunakan karena tidak ada alasan yang kuat untuk menggunakannya. Tanpa alasan yang kuat untuk menggunakan suatu aplikasi, para pengguna mungkin tidak mau repot merubah kebiasaan (budaya) mereka. Mengubah kebiasaan, sekecil apa pun kebiasaan itu, bukanlah hal yang mudah. Tanpa alasan yang kuat, merubah kebiasaan akan menjadi semakin sulit. Pada akhirnya aplikasi yang sudah dikembangkan, semudah dan secanggih apa pun aplikasi itu, tidak akan pernah digunakan.

Oleh karena itu, setiap implementasi teknologi informasi harus memperhatikan waktu dan kualitas edukasi untuk implementasi tersebut. Edukasi yang dimaksud tentunya edukasi yang komprehensif mengenai manfaat-manfaat (nilai tambah) implementasi teknologi informasi itu digunakan dalam rutinitas sehari-hari. Jangan sampai hasil implementasi teknologi informasi yang didukung teknologi mutakhir dan mudah digunakan itu menjadi sia-sia karena para pengguna tidak memahami urgensinya.

Sabtu, 02 Juli 2011

Raja Kecil

Birokrasi saat ini masih identik dengan penguasa-penguasa lokal. Contohnya antara lain kepala-kepala kantor, aparat dengan koneksi segudang, atau anak-anak pejabat. Penguasa-penguasa lokal ini seolah-olah hidup dalam sistem kerajaan jaman dahulu sebelum nusantara ini bersatu. Mereka ibarat raja-raja kecil yang menguasai wilayah-wilayah di Indonesia.

Saya yakin ada banyak sekali cerita tentang raja-raja kecil ini. Bagaimana mereka mengenakan topeng kompetensi padahal kompetensi mereka yang sebenarnya ada pada jumlah koneksi. Bagaimana mereka mengaku memimpin dengan sistem demokrasi padahal demokrasi itu hanya digunakan untuk menutupi sistem monarki yang mereka junjung tinggi.

Keberadaan raja-raja kecil ini sebenarnya bukan hal yang aneh. Kentalnya kolusi di lingkungan instansi pemerintahan Indonesia membuat keberadaan raja-raja kecil ini menjadi wajar. Saat seorang pegawai negeri menjadi pimpinan, kita pun tak heran saat kita tahu kalau orang ini adalah kerabat (atau bahkan keluarga inti) atau sekedar kenalan seorang pejabat.

Raja-raja kecil ini punya peran yang besar dalam kebobrokan instansi pemerintah. Mereka memiliki andil yang signifikan terhadap rendahnya produktivitas jajaran pegawai negeri. Masalah-masalah ini terjadi raja-raja kecil ini melakukan kolusi di berbagai jajaran pegawai negeri. Penyebab utama buruknya kinerja instansi pemerintah ini lebih karena buruknya kompetensi orang-orang yang terlibat kolusi.

Raja-raja yang diangkat karena koneksi ini seringkali tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk memimpin. Baik dari sisi pendidikan maupun pengalaman, raja-raja ini memiliki kompetensi yang jauh panggang dari api. Orang-orang dengan kompetensi yang memadai justru tersingkir hanya karena orang-orang kompeten ini tidak punya koneksi yang memadai. Kondisi yang sangat ironis di tengah kritik terhadap rumitnya birokrasi di Indonesia.

Sebagaimana raja-raja lalim di jaman dahulu, raja-raja kecil ini pun akan berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan singgasananya. Entah itu dengan memanfaatkan koneksi atau dengan memanfaatkan harta untuk menyogok, cara apa pun akan ditempuh untuk mempertahankan jabatan mereka sebagai raja. Kalau pun mereka harus turun, mereka akan menyiapkan generasi penerus mereka untuk menjadi raja kecil berikutnya.

Regenerasi pun berlanjut. Raja-raja kecil yang pensiun sudah menyiapkan penerus tahta masing-masing. Selanjutnya para penerus ini pun akan melakukan segala cara untuk mempertahankan singgasana mereka. Mereka pun akan melakukan segala cara agar generasi penerus berikutnya siap meneruskan kekuasaan mereka masing-masing.

Entah sampai kapan pemerintahan Indonesia akan dipenuhi oleh raja-raja kecil ini. Entah sampai kapan proses pemberantasan kolusi ini akan mencapai angka 100%. Entah kapan pemerintahan Indonesia akan bersih, kompeten, dan produktif. Saya yakin setiap orang yang berharap perbaikan yang nyata dalam pemerintahan Indonesia ingin melihat mimpi ini menjadi kenyataan.

Sabtu, 23 April 2011

Minyak dan Air

Teknologi dan birokrasi itu tidak bisa disatukan. Keduanya ibarat minyak dan air. Kita harus memilih salah satu di antara keduanya. Kalau kita memilih teknologi, kita harus meninggalkan birokrasi. Sementara kalau kita memilih birokrasi, teknologi tidak perlu kita rangkul. Biarkan saja teknologi dan birokrasi bergulir di jalan mereka masing-masing.

Perumpamaan di atas memang ekstrim, tapi kenyataan di lapangan seringkali membuat kita berpikir seperti itu. Saat kita ingin memadukan teknologi dan birokrasi, perumpamaan di atas kadang terjadi. Saat kita menarik birokrasi untuk mendekat, teknologi membuatnya sulit. Saat kita menarik teknologi untuk mendekat, birokrasi membuatnya sulit. Beruntung bahwa masalah ini tentu saja tidak berlaku di semua kondisi.

Pada kenyataannya, teknologi dan birokrasi dapat mencapai keharmonisan. Keberadaan teknologi mampu membuat birokrasi menjadi tidak berbelit. Birokrasi yang efektif dan efisien tentu saja tidak lepas dari implementasi teknologi yang tepat guna. Perumpamaan teknologi dan birokrasi seperti minyak dan air dapat dibungkam.

Menyelaraskan teknologi dan birokrasi memang bukan hal mudah, tapi tetap saja sangat mungkin untuk dilakukan. Yang perlu ditemukan adalah kondisi yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan di sisi birokrasi bersinergi dengan batasan-batasan yang ada pada teknologi. Untuk melakukan ini tentunya diperlukan sejumlah fleksibilitas tertentu dari teknologi maupun dari birokrasi.

Kalau kita bicara fleksibilitas, teknologi adalah juaranya. Teknologi dapat ditekuk, diluruskan, diputar, atau dipelintir sesuka penggunanya. Walau bagaimana pun, tujuan akhir dari teknologi adalah untuk mempermudah hidup penggunanya. Atas alasan inilah teknologi tidak boleh dibuat kaku.

Walaupun begitu, fleksibilitas teknologi ini sangat bergantung pada proses persiapannya. Dengan kata lain, fleksibilitas teknologi ini terbatas pada faktor-faktor seperti biaya implementasi dan sumber daya manusia yang terlibat. Terlepas dari faktor-faktor tersebut, teknologi tentunya dapat diatur sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan kebutuhan birokrasi.

Kendala paling besar dalam menyatukan teknologi dan birokrasi umumnya memang ada pada sisi birokrasi. Birokrasi pada umumnya lebih kaku bila dibandingkan dengan teknologi. Dengan kata lain, lebih sulit bagi birokrasi untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan batasan-batasan teknologi.

Sama seperti teknologi, birokrasi pun memiliki faktor-faktor tertentu yang membuatnya menjadi kaku. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor budaya dan faktor kepentingan. Orang-orang yang tidak mudah menerima perubahan budaya organisasi dan orang-orang yang merasa kepentingannya akan terganggu dengan perubahan adalah hambatan-hambatan yang besar. Kalau pola pikir orang-orang seperti ini dapat diselaraskan dengan perkembangan teknologi, maka perubahan birokrasi ke arah yang lebih baik dapat dilakukan.

Kalau pun masing-masing pihak masih kaku, kombinasi teknologi dan birokasi masih dapat dilakukan. Konsekuensinya adalah sebuah implementasi teknologi yang tidak optimal atau bahkan sebuah implementasi yang tidak dapat digunakan. Dalam kondisi seperti ini, teknologi yang terbaik pun akan terasa tidak berguna atau bahkan dipandang menyusahkan.

Teknologi dan birokrasi adalah dua entitas yang berada pada domain yang berbeda. Untuk menyatukannya dibutuhkan usaha yang tidak kecil dan pola pikir positif untuk berubah sesuai dengan batasan masing-masing entitas. Dengan begitu, birokrasi efektif dan efisien dapat dicapai dengan mengimplementasikan teknologi tepat guna.

Selasa, 29 Maret 2011

Perlukah Instansi Pemerintah Go Open Source?

Perlukah instansi pemerintah di Indonesia ini go open source? Jawabannya tentu saja antara perlu dan tidak perlu. Keputusannya tentu kembali ke faktor-faktor yang dipertimbangkan saat merangkul teknologi open source yang diperlukan. Yang disayangkan adalah bila faktor-faktor tersebut lebih cenderung kepada "mengikuti trend", "mengikuti peraturan yang mengharuskan penggunaan open source", atau "meminimalisir biaya implementasi teknologi".

Faktor utama dalam menerapkan suatu teknologi adalah nilai tambahnya. Tidak ada gunanya menggunakan sebuah teknologi bila tidak ada manfaat yang didapat. Jadi yang paling penting untuk dipikirkan saat menerapkan teknologi open source oleh instansi pemerintah adalah nilai tambah/manfaat yang akan didapatkan oleh instansi tersebut. Akan tetapi, faktor "rendahnya biaya" jangan buru-buru diikutkan sebagai manfaat ini. Nilai tambah yang utama tentunya ada pada hal-hal seperti standarisasi prosedur/dokumen, penyelesaian proses bisnis dalam waktu yang lebih singkat, kemudahan dalam pelaksaan tugas, atau hal-hal sejenisnya.

Setelah mempertimbangkan manfaat yang didapat dari penggunaan teknologi open source, kita lanjutkan dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang dimiliki masing-masing instansi. Salah satu "kelemahan" teknologi open source ada pada sisi dukungan teknis. Dukungan teknis untuk teknologi open source ada pada komunitas. Hal ini jelas berbeda bila dibandingkan dengan teknologi proprietary yang didukung penuh oleh produsen/vendor penyedia teknologi terkait. Dukungan teknis untuk teknologi proprietary umumnya lebih mudah diperoleh.

Bila infrastruktur dan sumber daya manusia yang diperlukan itu tidak siap, maka penerapan teknologi open source sama saja dengan terjun ke jurang tanpa alat pengaman. Teknologi yang diterapkan tidak akan optimal dan penyelesaian masalah akan butuh waktu yang lama. Rutinitas harian pegawai instansi terkait akan terhambat. Pada akhirnya kualitas pelayanan pun berkurang. Dalam kondisi seperti ini, fakta bahwa teknologi open source dapat diterapkan tanpa biaya menjadi tidak relevan. Dalam kondisi tersebut, biaya yang timbul karena tidak siapnya infrastruktur dan sumber daya manusia pendukung ini kemungkinan besar menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang perlu dikeluarkan untuk mengakuisi teknologi proprietary.

Oleh karena itu, semangat untuk go open source jangan hanya didasari faktor biaya yang rendah. Kesiapan setiap instansi pemerintah yang ingin menerapkan teknologi open source ini harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai hasil penerapan teknologi bersifat kontraproduktif. Seandainya instansi pemerintah terkait sudah siap menggunakan teknologi open source dalam kegiatan sehari-harinya, maka manfaat yang didapatkan akan lebih banyak dari sekedar faktor biaya.

Satu hal yang pasti, setiap instansi pemerintah yang menerapkan teknologi open source akan mengurangi ketergantungannya pada vendor tertentu. Tanpa adanya ketergantungan seperti ini, instansi pemerintah terkait akan memaksa dirinya untuk mandiri dalam mencari dan menerapkan teknologi yang diperlukan. Kemandirian itu sendiri akan ikut merangsang tumbuhnya inovasi-inovasi di bidang teknologi informasi dalam instansi-instansi pemerintah.

Melihat manfaat penerapan teknologi open source secara garis besar seperti di atas, saya rasa sudah selayaknya instansi pemerintah melepaskan ketergantungannya kepada vendor mana pun dan mulai mengelola teknologi informasi internalnya secara mandiri. Semoga saja pemerintah Indonesia segera bergerak ke arah ini.

Jumat, 04 Maret 2011

3 Alasan Mendukung Open Source

Kenapa kita perlu mendukung teknologi open source? Berikut ini alasan-alasan yang saya pandang penting untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Alasan pertama adalah inovasi. Selama saya berkecimpung di dunia open source, saya senantiasa dituntut untuk berkembang. Entah itu mencari alternatif solusi yang lain, bertanya ke komunitas-komunitas open source yang relevan, sampai akhirnya mengembangkan sendiri aplikasi open source yang ada agar memenuhi kebutuhan.

Hal ini jelas bertolak belakang dengan dunia aplikasi berbayar. Saat berinteraksi dengan aplikasi berbayar, saya punya kecenderungan untuk fokus pada satu vendor untuk mencari solusi. Bertanya ke komunitas kerap menjadi prioritas terakhir karena saya berharap mendapatkan jawaban dari vendor penyedia aplikasi. Sementara pilihan untuk mengembangkan aplikasi tertutup dengan alasan hak cipta.

Kondisi di atas terkait dengan alasan kedua, yaitu kebebasan. Open source menjamin kebebasan untuk mengubah aplikasi sesuai kebutuhan kita tanpa harus bergantung pada vendor tertentu. Kita berhak menambah fitur, menghapus fitur, atau merubah fitur yang ada dalam aplikasi open source sesuai kebutuhan kita tanpa harus memikirkan hak cipta, hak paten, atau embel-embel lainnya. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan kondisi saat kita menggunakan aplikasi berbayar.

Alasan ketiga adalah pengembangan pengetahuan. Dunia open source jelas mendukung penuh pengembangan ilmu. Salah satu sifat dasar teknologi open source adalah berbagi. Walaupun dalam kenyataannya yang disebarkan adalah aplikasi atau kode program, pada dasarnya tetap pengetahuan para pengembang aplikasi tersebut yang tersebar. Pengetahuan yang disebarkan itu kemudian dikembangkan. Hasil perkembangannya kemudian disebarkan kembali. Siklus tersebut terjadi berulang-ulang sampai akhirnya semua pihak merasakan dampak yang sama dari perkembangan pengetahuan tersebut. Hal ini lagi-lagi berbanding terbalik dengan kondisi saat kita menggunakan aplikasi berbayar.

Tiga alasan di atas merupakan alasan utama kenapa saya mendukung teknologi open source. Saya tekankan bahwa biaya (atau lebih tepatnya tanpa biaya) bukanlah alasan yang kuat bagi saya. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa "tanpa biaya" dalam penerapan teknologi open source itu adalah ilusi. Teknologi open source memang gratis, tapi bukan berarti tanpa biaya. Semoga saya memiliki kesempatan untuk berbagi mengenai hal ini di tulisan berikutnya.

Selasa, 01 Maret 2011

IGOS

Saat ingin membicarakan teknologi informasi dan birokrasi, saya langsung teringat IGOS (Indonesia Goes Open Source). Saya sempat antusias mengikuti gaungnya, tapi sudah lama sekali sejak terakhir kali saya mendengar kabar perkembangannya.

Ketika saya mulai bekerja sebagai PNS, semangat untuk mengikuti perkembangan IGOS di instansi pemerintahan muncul kembali. Sayangnya gayung tidak bersambut. Ternyata implementasi teknologi open source di instansi pemerintahan saat ini tidak begitu besar.

Kesimpulan di atas tentu jauh dari komprehensif. Saya hanya tahu kondisi di beberapa instansi saja -itu pun tidak menyeluruh. Saya melihat implementasi teknologi open source itu masih sangat minim. Itu pun kalau memang ada. Penggunaan aplikasi proprietary masih sangat dominan dalam instansi pemerintah.

Microsoft Windows adalah sistem operasi yang dominan. Penggunaan sistem operasi lain masih minim. Kalau pun ada, sepertinya hanya tersedia di ruang server. Sulit sekali menemukan komputer pribadi (pegawai) dengan sistem operasi seperti Linux atau sejenisnya.

Apalagi kalau kita sudah bicara aplikasi secara umum, terutama aplikasi Office. Instansi pemerintah pada umumnya mengenal Microsoft Office. Sebagian kecil mungkin sudah mengenal OpenOffice, tapi entah berapa orang yang benar-benar menggunakannya dalam pekerjaan sehari-hari mereka.

Sistem operasi dan aplikasi Office memang hanya sebagian kecil dari penerapan teknologi informasi dalam instansi pemerintahan, tapi menurut saya keduanya merepresentasikan seluas apa pengaruh teknologi open source pada instansi pemerintahan tersebut.

Tentunya setiap keputusan senantiasa disertai oleh alasan yang (seharusnya) kuat. Hanya saja saya tidak tahu harus bertanya ke mana untuk mencari tahu lebih lanjut tentang penerapan open source di pemerintahan Indonesia saat ini. Sejauh mana teknologi open source dianggap penting, sejauh mana para pimpinan menyadari pentingnya teknologi ini, sejauh mana sosialisasi yang sudah dilakukan di instansi masing-masing, dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Di mana kendala teknologi open source saat memasuki intansi pemerintah Indonesia?

Mungkin orang-orang berpengalaman seperti Onno W. Purbo dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mungkin juga orang-orang yang memiliki posisi krusial seperti Tifatul Sembiring dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sementara saya sendiri hanya dapat menyajikan tulisan ini sebatas opini pribadi.

Saya pribadi berharap penerapan teknologi open source dapat terus meluas. Walaupun open source sangat erat dengan kata gratis, manfaat teknologi ini harus dilihat dari sudut pandang lain. Salah satunya adalah pengaruh teknologi ini dalam inovasi dalam pengembangan sistem informasi secara keseluruhan.

Manfaat open source memang tidak terbatas pada sisi finansial saja, tapi tulisan ini akan menjadi terlalu panjang bila saya ikut menyertakan opini saya tentang hal ini. Semoga saya bisa menuangkannya dalam tulisan di lain waktu seraya mempertahankan dukungan saya terhadap teknologi open source.

Selasa, 22 Februari 2011

Alfanaini

Mengacu kepada Google Translate, الفنين (baca: Alfanaini) diterjemahkan sebagai Teknokrasi. Kata "alfanaini" ini pun menjadi pilihan alamat URL blog ini karena kata "teknokrasi" dan "technocracy" sudah digunakan orang lain. Terlepas dari definisi bakunya, nama Teknokrasi saya berikan untuk blog ini dengan semangat berbagi hal-hal yang terkait dengan teknologi informasi dan birokrasi di pemerintahan. Melihat saya sendiri adalah tenaga IT (bukan pakar) yang bekerja sebagai PNS, saya rasa relevan bila saya menulis tentang teknologi informasi dan birokrasi.

Sebelumnya saya mencoba menuangkan uneg-uneg saya tentang teknologi informasi dan birokrasi lewat asyafrudin.posterous.com. Tulisan-tulisan di Posterous saya buat dalam bahasa Inggris dengan semangat untuk berbagi informasi menggunakan bahasa universal. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dengan para penulis lain yang meramaikan Internet dengan tulisan berbahasa Indonesia. Dengan begitu saya mengambil bagian untuk ikut mencerdaskan bangsa.

Saya sendiri melihat sepertinya tulisan berbahasa Indonesia akan lebih bermanfaat bagi pembaca blog-blog saya. Toh statistika lalu-lintas blog-blog saya memperlihatkan dengan jelas bahwa mayoritas pengunjung -dan semoga saja pembaca- blog-blog saya datang dari Indonesia. Oleh karena itu saya menguatkan niat untuk lebih konsisten menulis dalam bahasa Indonesia.

Lalu apa yang ingin saya tulis di blog ini? Tentu saja semua ilmu dan pengalaman saya bekerja di sektor IT dan pemerintahan. Saya kerap merasa ada hal-hal yang saya rasa perlu saya tuangkan ke dalam sebuah tulisan. Semoga saja kenyataannya di masa depan nanti mendukung asumsi tersebut. Semakin banyak tulisan di blog ini, semakin banyak manfaat yang bisa saya berikan. Aamiin.