Perlukah instansi pemerintah di Indonesia ini go open source? Jawabannya tentu saja antara perlu dan tidak perlu. Keputusannya tentu kembali ke faktor-faktor yang dipertimbangkan saat merangkul teknologi open source yang diperlukan. Yang disayangkan adalah bila faktor-faktor tersebut lebih cenderung kepada "mengikuti trend", "mengikuti peraturan yang mengharuskan penggunaan open source", atau "meminimalisir biaya implementasi teknologi".
Faktor utama dalam menerapkan suatu teknologi adalah nilai tambahnya. Tidak ada gunanya menggunakan sebuah teknologi bila tidak ada manfaat yang didapat. Jadi yang paling penting untuk dipikirkan saat menerapkan teknologi open source oleh instansi pemerintah adalah nilai tambah/manfaat yang akan didapatkan oleh instansi tersebut. Akan tetapi, faktor "rendahnya biaya" jangan buru-buru diikutkan sebagai manfaat ini. Nilai tambah yang utama tentunya ada pada hal-hal seperti standarisasi prosedur/dokumen, penyelesaian proses bisnis dalam waktu yang lebih singkat, kemudahan dalam pelaksaan tugas, atau hal-hal sejenisnya.
Setelah mempertimbangkan manfaat yang didapat dari penggunaan teknologi open source, kita lanjutkan dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang dimiliki masing-masing instansi. Salah satu "kelemahan" teknologi open source ada pada sisi dukungan teknis. Dukungan teknis untuk teknologi open source ada pada komunitas. Hal ini jelas berbeda bila dibandingkan dengan teknologi proprietary yang didukung penuh oleh produsen/vendor penyedia teknologi terkait. Dukungan teknis untuk teknologi proprietary umumnya lebih mudah diperoleh.
Bila infrastruktur dan sumber daya manusia yang diperlukan itu tidak siap, maka penerapan teknologi open source sama saja dengan terjun ke jurang tanpa alat pengaman. Teknologi yang diterapkan tidak akan optimal dan penyelesaian masalah akan butuh waktu yang lama. Rutinitas harian pegawai instansi terkait akan terhambat. Pada akhirnya kualitas pelayanan pun berkurang. Dalam kondisi seperti ini, fakta bahwa teknologi open source dapat diterapkan tanpa biaya menjadi tidak relevan. Dalam kondisi tersebut, biaya yang timbul karena tidak siapnya infrastruktur dan sumber daya manusia pendukung ini kemungkinan besar menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang perlu dikeluarkan untuk mengakuisi teknologi proprietary.
Oleh karena itu, semangat untuk go open source jangan hanya didasari faktor biaya yang rendah. Kesiapan setiap instansi pemerintah yang ingin menerapkan teknologi open source ini harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai hasil penerapan teknologi bersifat kontraproduktif. Seandainya instansi pemerintah terkait sudah siap menggunakan teknologi open source dalam kegiatan sehari-harinya, maka manfaat yang didapatkan akan lebih banyak dari sekedar faktor biaya.
Satu hal yang pasti, setiap instansi pemerintah yang menerapkan teknologi open source akan mengurangi ketergantungannya pada vendor tertentu. Tanpa adanya ketergantungan seperti ini, instansi pemerintah terkait akan memaksa dirinya untuk mandiri dalam mencari dan menerapkan teknologi yang diperlukan. Kemandirian itu sendiri akan ikut merangsang tumbuhnya inovasi-inovasi di bidang teknologi informasi dalam instansi-instansi pemerintah.
Melihat manfaat penerapan teknologi open source secara garis besar seperti di atas, saya rasa sudah selayaknya instansi pemerintah melepaskan ketergantungannya kepada vendor mana pun dan mulai mengelola teknologi informasi internalnya secara mandiri. Semoga saja pemerintah Indonesia segera bergerak ke arah ini.
Selasa, 29 Maret 2011
Jumat, 04 Maret 2011
3 Alasan Mendukung Open Source
Kenapa kita perlu mendukung teknologi open source? Berikut ini alasan-alasan yang saya pandang penting untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Alasan pertama adalah inovasi. Selama saya berkecimpung di dunia open source, saya senantiasa dituntut untuk berkembang. Entah itu mencari alternatif solusi yang lain, bertanya ke komunitas-komunitas open source yang relevan, sampai akhirnya mengembangkan sendiri aplikasi open source yang ada agar memenuhi kebutuhan.
Hal ini jelas bertolak belakang dengan dunia aplikasi berbayar. Saat berinteraksi dengan aplikasi berbayar, saya punya kecenderungan untuk fokus pada satu vendor untuk mencari solusi. Bertanya ke komunitas kerap menjadi prioritas terakhir karena saya berharap mendapatkan jawaban dari vendor penyedia aplikasi. Sementara pilihan untuk mengembangkan aplikasi tertutup dengan alasan hak cipta.
Kondisi di atas terkait dengan alasan kedua, yaitu kebebasan. Open source menjamin kebebasan untuk mengubah aplikasi sesuai kebutuhan kita tanpa harus bergantung pada vendor tertentu. Kita berhak menambah fitur, menghapus fitur, atau merubah fitur yang ada dalam aplikasi open source sesuai kebutuhan kita tanpa harus memikirkan hak cipta, hak paten, atau embel-embel lainnya. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan kondisi saat kita menggunakan aplikasi berbayar.
Alasan ketiga adalah pengembangan pengetahuan. Dunia open source jelas mendukung penuh pengembangan ilmu. Salah satu sifat dasar teknologi open source adalah berbagi. Walaupun dalam kenyataannya yang disebarkan adalah aplikasi atau kode program, pada dasarnya tetap pengetahuan para pengembang aplikasi tersebut yang tersebar. Pengetahuan yang disebarkan itu kemudian dikembangkan. Hasil perkembangannya kemudian disebarkan kembali. Siklus tersebut terjadi berulang-ulang sampai akhirnya semua pihak merasakan dampak yang sama dari perkembangan pengetahuan tersebut. Hal ini lagi-lagi berbanding terbalik dengan kondisi saat kita menggunakan aplikasi berbayar.
Tiga alasan di atas merupakan alasan utama kenapa saya mendukung teknologi open source. Saya tekankan bahwa biaya (atau lebih tepatnya tanpa biaya) bukanlah alasan yang kuat bagi saya. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa "tanpa biaya" dalam penerapan teknologi open source itu adalah ilusi. Teknologi open source memang gratis, tapi bukan berarti tanpa biaya. Semoga saya memiliki kesempatan untuk berbagi mengenai hal ini di tulisan berikutnya.
Alasan pertama adalah inovasi. Selama saya berkecimpung di dunia open source, saya senantiasa dituntut untuk berkembang. Entah itu mencari alternatif solusi yang lain, bertanya ke komunitas-komunitas open source yang relevan, sampai akhirnya mengembangkan sendiri aplikasi open source yang ada agar memenuhi kebutuhan.
Hal ini jelas bertolak belakang dengan dunia aplikasi berbayar. Saat berinteraksi dengan aplikasi berbayar, saya punya kecenderungan untuk fokus pada satu vendor untuk mencari solusi. Bertanya ke komunitas kerap menjadi prioritas terakhir karena saya berharap mendapatkan jawaban dari vendor penyedia aplikasi. Sementara pilihan untuk mengembangkan aplikasi tertutup dengan alasan hak cipta.
Kondisi di atas terkait dengan alasan kedua, yaitu kebebasan. Open source menjamin kebebasan untuk mengubah aplikasi sesuai kebutuhan kita tanpa harus bergantung pada vendor tertentu. Kita berhak menambah fitur, menghapus fitur, atau merubah fitur yang ada dalam aplikasi open source sesuai kebutuhan kita tanpa harus memikirkan hak cipta, hak paten, atau embel-embel lainnya. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan kondisi saat kita menggunakan aplikasi berbayar.
Alasan ketiga adalah pengembangan pengetahuan. Dunia open source jelas mendukung penuh pengembangan ilmu. Salah satu sifat dasar teknologi open source adalah berbagi. Walaupun dalam kenyataannya yang disebarkan adalah aplikasi atau kode program, pada dasarnya tetap pengetahuan para pengembang aplikasi tersebut yang tersebar. Pengetahuan yang disebarkan itu kemudian dikembangkan. Hasil perkembangannya kemudian disebarkan kembali. Siklus tersebut terjadi berulang-ulang sampai akhirnya semua pihak merasakan dampak yang sama dari perkembangan pengetahuan tersebut. Hal ini lagi-lagi berbanding terbalik dengan kondisi saat kita menggunakan aplikasi berbayar.
Tiga alasan di atas merupakan alasan utama kenapa saya mendukung teknologi open source. Saya tekankan bahwa biaya (atau lebih tepatnya tanpa biaya) bukanlah alasan yang kuat bagi saya. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa "tanpa biaya" dalam penerapan teknologi open source itu adalah ilusi. Teknologi open source memang gratis, tapi bukan berarti tanpa biaya. Semoga saya memiliki kesempatan untuk berbagi mengenai hal ini di tulisan berikutnya.
Selasa, 01 Maret 2011
IGOS
Saat ingin membicarakan teknologi informasi dan birokrasi, saya langsung teringat IGOS (Indonesia Goes Open Source). Saya sempat antusias mengikuti gaungnya, tapi sudah lama sekali sejak terakhir kali saya mendengar kabar perkembangannya.
Ketika saya mulai bekerja sebagai PNS, semangat untuk mengikuti perkembangan IGOS di instansi pemerintahan muncul kembali. Sayangnya gayung tidak bersambut. Ternyata implementasi teknologi open source di instansi pemerintahan saat ini tidak begitu besar.
Kesimpulan di atas tentu jauh dari komprehensif. Saya hanya tahu kondisi di beberapa instansi saja -itu pun tidak menyeluruh. Saya melihat implementasi teknologi open source itu masih sangat minim. Itu pun kalau memang ada. Penggunaan aplikasi proprietary masih sangat dominan dalam instansi pemerintah.
Microsoft Windows adalah sistem operasi yang dominan. Penggunaan sistem operasi lain masih minim. Kalau pun ada, sepertinya hanya tersedia di ruang server. Sulit sekali menemukan komputer pribadi (pegawai) dengan sistem operasi seperti Linux atau sejenisnya.
Apalagi kalau kita sudah bicara aplikasi secara umum, terutama aplikasi Office. Instansi pemerintah pada umumnya mengenal Microsoft Office. Sebagian kecil mungkin sudah mengenal OpenOffice, tapi entah berapa orang yang benar-benar menggunakannya dalam pekerjaan sehari-hari mereka.
Sistem operasi dan aplikasi Office memang hanya sebagian kecil dari penerapan teknologi informasi dalam instansi pemerintahan, tapi menurut saya keduanya merepresentasikan seluas apa pengaruh teknologi open source pada instansi pemerintahan tersebut.
Tentunya setiap keputusan senantiasa disertai oleh alasan yang (seharusnya) kuat. Hanya saja saya tidak tahu harus bertanya ke mana untuk mencari tahu lebih lanjut tentang penerapan open source di pemerintahan Indonesia saat ini. Sejauh mana teknologi open source dianggap penting, sejauh mana para pimpinan menyadari pentingnya teknologi ini, sejauh mana sosialisasi yang sudah dilakukan di instansi masing-masing, dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Di mana kendala teknologi open source saat memasuki intansi pemerintah Indonesia?
Mungkin orang-orang berpengalaman seperti Onno W. Purbo dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mungkin juga orang-orang yang memiliki posisi krusial seperti Tifatul Sembiring dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sementara saya sendiri hanya dapat menyajikan tulisan ini sebatas opini pribadi.
Saya pribadi berharap penerapan teknologi open source dapat terus meluas. Walaupun open source sangat erat dengan kata gratis, manfaat teknologi ini harus dilihat dari sudut pandang lain. Salah satunya adalah pengaruh teknologi ini dalam inovasi dalam pengembangan sistem informasi secara keseluruhan.
Manfaat open source memang tidak terbatas pada sisi finansial saja, tapi tulisan ini akan menjadi terlalu panjang bila saya ikut menyertakan opini saya tentang hal ini. Semoga saya bisa menuangkannya dalam tulisan di lain waktu seraya mempertahankan dukungan saya terhadap teknologi open source.
Ketika saya mulai bekerja sebagai PNS, semangat untuk mengikuti perkembangan IGOS di instansi pemerintahan muncul kembali. Sayangnya gayung tidak bersambut. Ternyata implementasi teknologi open source di instansi pemerintahan saat ini tidak begitu besar.
Kesimpulan di atas tentu jauh dari komprehensif. Saya hanya tahu kondisi di beberapa instansi saja -itu pun tidak menyeluruh. Saya melihat implementasi teknologi open source itu masih sangat minim. Itu pun kalau memang ada. Penggunaan aplikasi proprietary masih sangat dominan dalam instansi pemerintah.
Microsoft Windows adalah sistem operasi yang dominan. Penggunaan sistem operasi lain masih minim. Kalau pun ada, sepertinya hanya tersedia di ruang server. Sulit sekali menemukan komputer pribadi (pegawai) dengan sistem operasi seperti Linux atau sejenisnya.
Apalagi kalau kita sudah bicara aplikasi secara umum, terutama aplikasi Office. Instansi pemerintah pada umumnya mengenal Microsoft Office. Sebagian kecil mungkin sudah mengenal OpenOffice, tapi entah berapa orang yang benar-benar menggunakannya dalam pekerjaan sehari-hari mereka.
Sistem operasi dan aplikasi Office memang hanya sebagian kecil dari penerapan teknologi informasi dalam instansi pemerintahan, tapi menurut saya keduanya merepresentasikan seluas apa pengaruh teknologi open source pada instansi pemerintahan tersebut.
Tentunya setiap keputusan senantiasa disertai oleh alasan yang (seharusnya) kuat. Hanya saja saya tidak tahu harus bertanya ke mana untuk mencari tahu lebih lanjut tentang penerapan open source di pemerintahan Indonesia saat ini. Sejauh mana teknologi open source dianggap penting, sejauh mana para pimpinan menyadari pentingnya teknologi ini, sejauh mana sosialisasi yang sudah dilakukan di instansi masing-masing, dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Di mana kendala teknologi open source saat memasuki intansi pemerintah Indonesia?
Mungkin orang-orang berpengalaman seperti Onno W. Purbo dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mungkin juga orang-orang yang memiliki posisi krusial seperti Tifatul Sembiring dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sementara saya sendiri hanya dapat menyajikan tulisan ini sebatas opini pribadi.
Saya pribadi berharap penerapan teknologi open source dapat terus meluas. Walaupun open source sangat erat dengan kata gratis, manfaat teknologi ini harus dilihat dari sudut pandang lain. Salah satunya adalah pengaruh teknologi ini dalam inovasi dalam pengembangan sistem informasi secara keseluruhan.
Manfaat open source memang tidak terbatas pada sisi finansial saja, tapi tulisan ini akan menjadi terlalu panjang bila saya ikut menyertakan opini saya tentang hal ini. Semoga saya bisa menuangkannya dalam tulisan di lain waktu seraya mempertahankan dukungan saya terhadap teknologi open source.
Langganan:
Postingan (Atom)