Selasa, 24 Januari 2012

Saat Iklan Mengalahkan Isi

Saat saya menelusuri sebuah situs, saya sedang menelusuri isi yang ada di dalam situs tersebut. Tujuannya? Untuk mendapatkan informasi yang saya butuhkan. Oleh karena itu, saat saya sedang mencari sesuatu lewat Google Search, saya berharap mendapatkan kumpulan link ke situs yang relevan. Yang dimaksud relevan di sini tentu saja situs yang isinya sesuai dengan kebutuhan saya.

Sampai saat ini, Google senantiasa berhasil menjadi tempat pencarian andalan saya. Hasil-hasil yang ditampilkan oleh Google Search senantiasa relevan. Yang saya butuhkan adalah kata kunci pencarian yang tepat saja. Dalam hal ini, fitur search suggestion dari Google itu seringkali menjadi lifesaver; terutama untuk mencari hal-hal yang terbilang unik (jarang dicari).

Kembali ke masalah isi. Yang saya butuhkan dari sebuah halaman web (atau sebuah situs) adalah isinya. Bila saya mengacu pada model bisnis berbasis iklan yang lumrah di Internet, saya pun tidak mempermasalahkan keberadaan iklan di beberapa bagian dari halaman web yang saya kunjungi itu. Akan tetapi, toleransi saya terhadap iklan ini pun ada batasnya.

Saya paling tidak suka masuk ke dalam halaman web yang dibanjiri iklan. Sebegitu banyaknya iklan yang ditampilkan sampai porsi informasi yang relevan menjadi rendah. Ada kalanya penempatan iklannya pun sangat frontal dan mengganggu kenyamanan saya saat menelusuri isi halaman web tersebut. Bahkan kadang saya tidak segan untuk menutup halaman web itu dan beralih ke alternatif yang lain.

Sepertinya Google mulai bertindak untuk menangani masalah ini. Situs Mashable melaporkan bahwa Google berniat untuk merubah algoritma yang mereka gunakan untuk "menghukum" situs-situs yang dibanjiri iklan. Walaupun begitu, video yang sama melaporkan bahwa perubahan algoritma ini tidak akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil pencarian lewat Google Search. Video lengkap dari Mashable dapat ditemukan di sini: mashable.com/follow/videos/1404708026001-in-a-blog-post-thursday-a-google-engineer-explained-the-company-is-/.

Semoga saja algoritma ini segera diimplementasikan (atau justru sudah diimplementasikan?). Dengan begitu kualitas hasil pencarian Google pun akan semakin membaik. Bila hasil pencarian Google membaik, maka user experience dalam menggunakan Google pun akan meningkat. Walau bagaimana pun, alasan utama kita menggunakan Google itu karena hasilnya memang relevan. Bukan karena popularitasnya, kan?

Kamis, 19 Januari 2012

Kenapa PNS Tidak Produktif?

Kenapa PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Indonesia ini secara mayoritas dinilai tidak produktif? Stigma malas senantiasa menempel pada pribadi para PNS. Sebegitu lekatnya stigma ini menempel sampai orang-orang pun bisa terheran-heran bila melihat PNS yang bekerja dengan rajin. Lebih heran lagi kalau PNS yang bekerja dengan rajin ini mengerjakan pekerjaannya tanpa embel-embel uang.

Salah satu tujuan Reformasi Birokrasi adalah melepas stigma malas tersebut. Tentu saja usaha untuk melepas stigma tersebut tidak berhenti di PR (Public Relation) yang baik, tapi juga memperbaiki masalah-masalah kinerja yang ada lewat langkah nyata. Garda terdepan Reformasi Birokrasi saat ini tentu saja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), tapi setiap instansi pemerintah saat ini pun turut aktif membenahi kinerja pegawai-pegawai yang mereka naungi.

Untuk bisa mengatasi masalah produktivitas PNS ini, kita perlu mencari tahu dulu penyebabnya. Dalam tulisan kali ini, saya ingin memaparkan alasan-alasan di balik rendahnya produktivitas PNS ini. Namun sebelumnya perlu saya tegaskan bahwa apa yang akan saya paparkan di bawah ini hanya mengacu kepada pengalaman dan pengamatan pribadi saya. Jadi, saya senantiasa membuka ruang untuk diskusi.

Pertama, stigma santai yang menempel di PNS. Saya yakin banyak orang yang menganggap bahwa PNS itu adalah pekerjaan santai. Dengan anggapan seperti ini, maka orang-orang yang berminat bekerja sebagai PNS pun berharap dapat bekerja dengan santai. Bila pola pemikiran seperti ini terus hidup (dan berkembang), orang-orang yang bekerja sebagai PNS itu akan memiliki rasa enggan dibuat sibuk oleh pekerjaan. Akibatnya mayoritas PNS tetap saja orang-orang yang malas bekerja dan semakin memupuk stigma santai ini.

Kedua, jumlah pegawai yang terlalu banyak. Jumlah pegawai yang terlalu banyak sudah pasti mempengaruhi produktivitas pegawai secara signifikan. Bayangkan pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjakan oleh 1 orang justru dikerjakan oleh 4 orang. Andaikan ada 200 pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh 1 orang saja, pembagian di atas akan membuat beban kerja masing-masing orang menjadi 50 pekerjaan saja. Pekerjaan memang menjadi lebih ringan, tapi produktivitas pegawai menjadi (terlihat) lebih rendah.

Ketiga, jumlah pekerjaan yang terlalu sedikit. Kebalikan dari alasan kedua di atas, jumlah pekerjaan yang dibebankan pada 1 orang bisa saja terlalu sedikit. Kondisi ini mungkin saja terjadi antara lain karena struktur organisasi yang terlalu gemuk sehingga masing-masing unit di bawah sebuah instansi memiliki tanggung jawab yang lebih rendah dari kapasitasnya. Bila tanggung jawab masing-masing unit saja lebih rendah dari kapasitasnya, tentu saja beban kerja pegawai di dalam unit tersebut pun lebih rendah dari kapasitas pegawai tersebut.

Keempat, tuntutan pekerjaan yang longgar. Bagian ini serupa tapi tak sama dengan alasan ketiga di atas. Longgarnya tuntutan pekerjaan di sini tidak ada hubungannya dengan kuantitas pekerjaan, tapi lebih erat kaitannya dengan pengawasan dari atasan. Rendahnya pengawasan dari atasan mengakibatkan tidak adanya tekanan yang memadai untuk segera menyelesaikan pekerjaan. Akibatnya para bawahan dapat seenaknya menentukan deadline mereka sendiri. Dalam kondisi seperti ini, para PNS akan bekerja sesuai irama mereka sendiri tanpa ada faktor "atasan" untuk memacu mereka bekerja.

Kelima, eksploitasi pegawai yang rajin. Penyebabnya adalah sulitnya memberikan sanksi (hukuman) kepada pegawai yang tidak produktif sehingga para atasan memiliki kecenderungan untuk menyerahkan pekerjaan kepada bawahan yang rajin. Sayangnya kecenderungan seperti ini mungkin saja tidak mengenal batas. Para atasan ini terus saja menambah beban pekerjaan untuk pegawai yang rajin. Pada akhirnya yang rajin tetap (terpaksa) rajin dan yang malas tetap dengan urusan mereka sendiri; tanpa peduli.

Keenam, pekerjaan yang tidak sesuai kompetensi atau minat. Kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi di lingkungan PNS. Saya tidak akan menggali lebih jauh mengenai penyebabnya. Satu hal yang pasti, pegawai yang tidak memiliki kompetensi di bidang pekerjaannya akan menjadi pegawai yang produktif. Produktivitas itu akan semakin menurun bila pegawai yang bersangkutan pun tidak memiliki minat yang cukup di bidang pekerjaannya.

Daftarnya pun tidak berhenti di angka 6. Saya yakin masih ada alasan-alasan lain yang tidak berhasil saya tangkap lewat pengalaman dan pengamatan saya pribadi. Namun perlu saya tegaskan bahwa paparan di atas sengaja saya batasi pada alasan-alasan yang terkait dengan budaya dan kepribadian para PNS itu sendiri. Saya sengaja tidak membahas masalah gaji, remunerasi, atau hal-hal teknis lainnya yang juga memiliki pengaruh terhadap produktivitas PNS.

Tujuan saya berbagi masalah-masalah yang terkait kinerja PNS ini, termasuk lewat tulisan Meningkatkan Kinerja PNS, sebenarnya untuk menyampaikan bahwa masalah kemalasan PNS itu tidak sederhana. Produktivitas ini bukan sekedar masalah mental (karakter) PNS yang bersangkutan. Pada kenyataannya masih banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan; masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan. Penyelesaiannya pun tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan, kecuali tangan yang dimaksud ini dapat membentang dari Sabang sampai Merauke.