Kalau kita ingin bicara tentang kebebasan berekspresi di Internet, hal yang pertama harus kita tanyakan adalah apa urgensi dari kebebasan berekspresi di Internet. Bahkan kita perlu tanyakan lebih jauh lagi mengenai apa pentingnya Internet itu sendiri. Bukankah Internet itu isinya hanya orang-orang egosentris dan kurang kerjaan yang sibuk dengan status dirinya di dunia maya? Bukankah Internet itu tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan di dunia nyata?
Untuk mendapatkan pencerahan mengenai dampak positif (yang signifikan) di Internet, saya sarankan menonton film linimas(s)a. Linimas(s)a (http://linimassa.org/) adalah film dokumenter yang menggambarkan perkembangan pemanfaatan Internet di Indonesia. Fokus utama pemanfaatan Internet yang dimaksud adalah penggunaan situs-situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook dalam membuat perubahan sosial di dunia nyata. Cerita-cerita yang diliput dalam film linimas(s)a ini benar-benar memberikan inspirasi akan banyaknya hal-hal positif yang dapat dicapai lewat Internet.
Apa saja cerita yang ada di film itu? Cukup banyak; mulai dari skala kecil sampai skala besar. Misalnya kisah tentang seorang tukang becak yang berhasil go international lewat Facebook. Dia membuka komunikasi sampai ke luar negeri dan berhasil menggaet turis mancanegara untuk plesir ke Yogyakarta. Gerakan Blood For Life di http://bloodforlife.wordpress.com/ berhasil menjembatani orang-orang yang membutuhkan sumbangan darah dengan orang-orang yang berkenan menyumbangkan darah. Gerakan ini, baik langsung maupun tidak langsung, memiliki andil dalam menyelamatkan nyawa seseorang.
Masih banyak cerita menarik lainnya di film linimas(s)a ini. Silakan tonton sendiri. Film ini dapat ditonton tanpa biaya di Youtube. Tidak perlu repot ke bioskop atau membeli DVD
Kembali ke topik tulisan ini. Salah satu cerita yang juga ada di dalam film linimas(s)a adalah kasus Prita Mulyasari. Hanya saja fokus ceritanya bukan pada perjalanan kasus tersebut di persidangan. Fokus ceritanya lebih kepada gerakan sosial di situs-situs jejaring sosial dalam memberikan dukungan kepada Prita Mulyasari sebagai korban penindasan terhadap kebebasan berekspresi di Internet. Sebegitu besarnya dampak dari dukungan tersebut sampai berhasil mengumpulkan donasi sebanyak ratusan juta rupiah untuk denda yang harus dibayar Prita Mulyasari dalam wujud segambreng koin dengan berat total mencapai ribuan kilogram. Angka pasti jumlah denda dan berat kumpulan koin ini dapat Anda temukan di Google.
Kasus Prita Mulyasari memang merupakan kasus yang sangat masyhur dan kerap dijadikan contoh kondisi kebebasan berekspresi di Internet saat ini. Bukan hanya karena ramai dibicarakan di Internet, tapi juga karena mendapat sorotan yang luar biasa dari media cetak dan elektronik. Pro dan kontra terhadap kondisi Prita Mulyasari dapat dipastikan segera bermunculan. Pihak yang kontra mengatakan Prita Mulyasari memang bersalah mencemarkan nama baik rumah sakit tempat dia dirawat. Pihak yang pro (dan merupakan mayoritas) mendukung Prita Mulyasari dengan mengatakan bahwa reaksi rumah sakit tersebut itu berlebihan. Nama rumah sakit terkait dapat Anda temukan juga di Google.
Satu hal yang pasti, kasus Prita Mulyasari mengubah persepsi banyak orang mengenai kebebasan berbagi informasi dan berekspresi di Internet. Sebagian pengguna Internet sepertinya terpengaruh oleh kasus ini dan mulai ragu-ragu untuk berbagi informasi dan berekspresi di Internet. Siapa yang mau diseret ke pengadilan hanya karena berkeluh kesah di Internet? Tidak ada orang yang mau berurusan dengan meja hijau; apa pun alasannya.
Lebih lanjut, kekhawatiran ini pun tidak hanya sebatas media email sebagaimana dalam kasus Prita Mulyasari, tapi pada semua media komunikasi di Internet. Baik itu lewat situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter atau lewat forum-forum daring (online). Sebagian pengguna Internet memilih untuk lebih berhati-hati dalam berbagi informasi di Internet; terutama yang berpotensi dituding sebagai pencemaran nama baik.
Walaupun begitu, kelihatannya dampak dari kasus Prita Mulyasari ini sudah memudar (atau memang dari awal tidak pernah berdampak besar). Sepertinya para pengguna Internet tidak lagi merasa cemas untuk cuap-cuap seenak dengkulnya di berbagai situs Internet. Kicauan para pengguna Twitter, obrolan para pengguna Facebook, atau berbagai post di forum-forum daring sepertinya sama saja, baik sebelum maupun sesudah munculnya kasus Prita Mulyasari.
Sayangnya saya hanya dapat menggunakan kata "sepertinya" karena saya tidak memiliki data yang kuat untuk mendukung pernyataan saya. Pendapat saya di atas murni hasil pemantauan pribadi terhadap beberapa situs jejaring sosial dan forum Internet yang saya geluti sendiri. Harap maklum bila uraian dalam paragraf di atas sangat bias karena landasannya murni dari pengalaman sehari-hari saya sendiri.
Terlepas dari itu, saya masih berani mengatakan bahwa kita di Indonesia ini masih bebas berekspresi di Internet. Kita masih bebas mengeluhkan buruknya kualitas makanan di sebuah resto. Kita masih bebas mengeluhkan panjangnya antrian di sebuah bank. Kita masih bebas mengeluhkan buruknya birokrasi di berbagai instansi pemerintahan. Kita masih bebas mengeluarkan berbagai pendapat kita di Internet; entah itu pendapat baik atau pendapat buruk.
Yang disayangkan adalah kebebasan ini memiliki beberapa prasyarat. Prasyarat yang dimaksud antara lain menyembunyikan identitas asli kita atau menyembunyikan identitas pihak yang kita keluhkan. Kalau kita dapat memenuhi satu dari dua prasyarat tersebut, kebebasan berekspresi kita akan terjamin. Hanya saja kebebasan yang didapat dengan cara seperti ini justru kontraproduktif. Kenapa? Kalau kita menyembunyikan identitas asli kita, orang lain akan kesulitan menentukan valid atau tidaknya informasi yang kita sebarkan. Kondisi ini pun rentan disalahgunakan untuk menyebar informasi bohong (hoax).
Menyembunyikan identitas pihak yang kita keluhkan pun kontraproduktif. Kenapa? Apa artinya sebuah keluhan akan buruknya pelayanan suatu pihak bila tidak ada kejelasan mengenai pihak yang dimaksud. Buruknya layanan di resto ABC, panjangnya antrian di bank DEF, atau rumitnya birokrasi di kantor kecamatan GHIJ, pada dasarnya tidak memberikan informasi apa pun selain 10 huruf pertama dalam alfabet. Seperti itulah kondisi kebebasan berekspresi di Internet saat ini. Percayalah bahwa hal ini tidak terjadi di Indonesia saja. Negara-negara lain pun ada yang senasib dan sepenanggungan dalam hal kebebasan berekspresi ini.
Yang menjadi momok kebebasan berekspresi ini adalah perangkat hukum. Prita Mulyasari sendiri berhasil diseret ke meja hijau karena dijerat pasal-pasal yang terkait pencemaran nama baik. Perangkat hukum untuk menjegal kebebasan berekspresi seperti ini masih dalam keadaan sehat wal afiat. Jadi, seperti dalam kasus Prita Mulyasari, bila ada pihak yang mampu memanipulasi perangkat hukum ini untuk keuntungan mereka, maka para pengguna Internet yang akan kena getahnya. Indeed, those fingers are pointing at us. Kita yang akan kena getahnya, saudara-saudara.
Kita, para pengguna Internet, ibarat seorang orator yang sedang teriak-teriak di pinggir jurang. Kalau sampai ada orang lain yang punya modal yang cukup untuk lolos dari tuntutan hukum dan moral karena
Kebebasan kita ternyata dibatasi oleh aturan yang seringkali membuat kita memilih untuk tetap diam ketimbang berekspresi. Kebebasan yang kita miliki di Internet pun sifatnya terbatas. Ini sama artinya dengan tidak memiliki kebebasan sama sekali. Ibarat seekor anjing yang dibiarkan bebas berkeliaran di tanah lapang, tapi lehernya dikalungi ikat leher anti putus yang awet digunakan untuk selamanya. Sejauh-jauhnya anjing ini berlari, jarak tempuhnya tidak akan pernah lebih jauh dari panjang tali ikat leher itu ke pangkalnya. Sebuah konsep kebebasan yang semu.
Bebas atau terbatas? Lebih tepat kalau kita katakan "bebas terbatas". Kita bebas mengekspresikan apa pun isi pikiran kita di Internet asalkan kita senantiasa memperhatikan regulasi yang berlaku. Perilaku seperti ini yang perlu kita perhatikan saat menggunakan Internet. Apalagi hukum itu tidak mengenal alasan "tidak tahu". Sekali kita dijerat oleh satu (atau sekumpulan) pasal, alasan "tidak tahu" tidak akan pernah membuat kita lepas. Kita harus berinisiatif untuk berhati-hati saat berbagi informasi di Internet. Tentunya "hati-hati" di sini adalah sifat hati-hati yang tidak berlebihan. Jangan sampai berbagai regulasi tentang kebebasan berekspresi di Internet itu membuat kita paranoid.
Perhatikan isi informasi yang kita beberkan di Internet. Apakah ada yang berpotensi menjelek-jelekan pihak lain? Apakah ada yang berpotensi menjadi bumerang bagi kita? Perhatikan unsur identitas saat berbagi informasi itu. Apakah identitas kita layak disembunyikan? Apakah identitas pihak yang kita sebut di dalam informasi kita layak dibeberkan? Perhatikan kondisi media tempat kita berbagi informasi tersebut. Apakah akses ke tempat kita berbagi informasi itu bersifat umum atau terbatas? Kalau kita hanya menyebarkan informasi ke orang-orang tertentu saja, apakah kita yakin bahwa informasi itu tidak akan diteruskan ke ruang yang lebih luas?
Masih banyak hal yang perlu kita perhatikan saat kita berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berbagi informasi di Internet seperti yang saya paparkan di atas. Jangan berpikir polos dan menganggap bahwa setiap informasi yang kita beberkan di Internet itu tidak akan berbalik menyerang kita. Kalau hal ini sampai terjadi, mungkin saja kita akan mendapatkan dukungan seperti halnya Prita Mulyasari, tapi apakah kita mau mengalami apa yang dialami Prita Mulyasari? Tentu tidak.
Have fun surfing the Internet. Just don't let the waves drown you to death.
sip... mancap.. :D
BalasHapus